........Selamat Hari Jadi Kab. Nunukan ke 13 tgl 12 Oktober 2012.......

Selasa, 21 April 2009

MENUJU BANGSA YANG BERDAULAT DENGAN MANDIRI PANGAN DAN ENERGI

MENUJU BANGSA YANG BERDAULAT DENGAN MANDIRI PANGAN DAN ENERGI

Oleh : Dian Kusumanto



Pangan adalah kebutuhan dasar manusia untuk melangsungkan hidupnya. Masyarakat yang bisa memenuhi sendiri kebutuhan pangannya dan tidak tergantung dari luar disebut sudah mencapai kemandirian di bidang pangan. Sedangkan energi adalah sumber tenaga untuk menggerakkan peralatan guna membantu dan meringankan, mempermudah kehidupan manusia.  
 
Energi adalah bahan yang dapat menghasilkan atau dapat di ubah menjadi tenaga guna membantu aktifitas manusia lebih cepat, lebih mudah, lebih nyaman, dll. Namun energi sering diidentikkan dengan BBM (Bahan Bakar Minyak) saja. Karena fungsi BBM yang sangat vital dan sangat praktis menyebabkan manusia sangat tergantung dengan BBM. Padahal energi bukan hanya BBM saja.  

Masyarakat suatu daerah dikatakan mandiri energi apabila kebutuhan energinya (BBM) nya sudah bisa mencukupi sendiri dan tidak tergantung dari luar. Kalau energi hanya diartikan sebagai BBM maka akan sulit dicapai mandiri energi disuatu daerah. BBM bersifat global, karena BBM sulit dikelola secara mandiri di suatu daerah.

Seyogjanya sumber energi juga dicarikan alternatif yang lain selain BBM, agar setiap daerah bisa mengembangkan sumber-sumber alternatif untuk mencapai kemandirian energinya dari sumber-sumber energi yang tersedia di daerah tersebut. Pada daerah-daerah yang tidak ada sumber tambang penghasil BBM, maka daerah tersebut hendaknya dapat mengembangkan alternatif sumer energi lainnya. Dengan demikian ketergantungan energi dari pasokan luar daeraah dapat dikurangi. Tentu saja yang dikembangkan adalah sumber bahan energi yang bisa diolah sampai menghasilkan sumber energi yang sap digunakan.

BBM adalah energi yang berasal dari fosil bumi yang bersifat tidak dapat diperbaruhi (irreversible energy). Sekarang sudah dikenal sumber energi lain yang berasal dari tanaman yang bersifat dapat diperbarui (reversible energy), yaitu BBN (bahan bakar nabati) atau sering disebut sebagai Biofuel. Dua jenis biofuel yang semakin populer sekarang ini adalah Biodiesel dan Bioethanol. Biodiesel adalah sumber bahan bakar nabati untuk menggerakkan mesin Diesel, Biodiesel bisa mengantikan fungsi dari pada minyak Solar. Sedangkan Bioethanol adalah sumber bahan bakar nabati untuk menggerakkan mesin yang selama ini menggunakan bensin atau premium, dll.

Biodiesel dapat dihasilkan dari tanaman atau bagian tanaman yang mengandung minyak. Sedangkan Bioethanol dapat dihasilkan dari tanaman atau bagian tanaman yang mengandung gula, atau pati atau selulosa. Kalau suatu daerah ingin mengembangkan Biofuel sebagai alternatif sumber bahan energinya, maka tinggal memilih mana diantara Biodiesel atau Bioethanol disesuaikan dengan potensi yang bisa mendukungnya. Dengan penanaman tanaman penghasil Biofuel tersebut serta pengelolaan produksi Biofuel tersebut, maka suatu daerah akan dapat mencapai kemandirian energi, atau paling tidak sudah bisa mengurangi beban ketergantungan bahan energi dari daerah atau negara lain.

Seperti juga kebutuhan pangan, masyarakat hanya mengartikan bahwa bahan pangan pokok itu hanya identik dengan beras. Beras menjadi fokus perhatian kita semua, menjadi prestise, sekaligus menjadi prestasi kalau berhasil meningkatkan produksinya. Sehingga sampai sekarang beras selalu menjadi komoditas ekonomi dan politik yang sangat penting.


Padahal bahan pangan tidak hanya beras, masih ada jagung, ubi kayu, ubi jalar, sukun, talas, sorgum, sagu, dll. Konsumsi beras perkapita bangsa Indonesia paling tinggi di dunia, yaitu sekitar 140 kg beras/ kapita/ tahun. Sedangkan konsumsi beras di Jepang hanya sekitar 60 kg/ kapita/ tahun. Dengan penduduk Indonesia + 200 juta jiwa, maka diperlukan beras sekitar 28 juta ton beras per tahun. Seandainya pola konsumsi kita bisa turun, misalnya menjadi ”hanya” 100 kg/ kapita/ tahun maka akan bisa dihemat 8 juta ton beras.


Mandiri pangan adalah langkah awal menuju pada keamanan pangan. Sebab keamanan pangan itu menyangkut 3 aspek, yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi. Pangan yang aman artinya pangan itu tercukupi secara jumlah, kualitas, dan kuantitasnya sampai kepada rumah tangga masyarakat kita.

Jumlah pangan yang tercukupi artinya hasil dari produksi masyarakat dari lahan-lahan pertanian kita ini cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh masyarakat. Memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat berarti dalam aspek distribusinya lancar tidak terkendala, sehingga bahan pangan sampai disetiap rumah tangga. Seluruh masyarakat bisa mengakses pangan, juga berarti masyarakat mempunyai kemampuan daya beli terhadap bahan pangan, berarti juga masyarakat mempunyai sumber pendapatan yang bisa untuk membeli bahan pangan secara cukup.  

Jadi bisa dikatakan bahwa, aman pangan sebenarnya adalah suatu keadaan dimana tida ada lagi kemiskinan. Karena kalau tidak ada orang yang mengakses bahan pangan biasanya adalah yang tidak memiliki penghasilan yang cukup. Oleh karena itu membangun ketahanan pangan itu berarti adalah menghapus kemiskinan. Kualitas pangan yang cukup artinya adalah pada aspek konsumsinya bahan pangan memiliki kandungan gizi yang pantas dan cukup untuk sehat, sehingga tergolong baik secara fisik dan mental manusia Indonesia .

Demikian juga dengan Terigu. Terigu atau (jagung gandum) adalah bahan pangan yang hampir seluruhnya diimpor dari luar negeri. Terigu adalah bahan pembuat mie, roti, dan aneka kue-kue. Konsumsi terigu normal (yang semuanya di impor) mencapai + 6 juta ton / tahun. (atau sekitar 30kg/ kapita/ tahun). Ini menjadi tantangan kita untuk ke depan tidak lagi tergantung dengan terigu. Kita harus bisa menciptakan alternatif bahan pangan yang menggantikan terigu. Banyak bahan yang bisa menjadi subsitusi terigu seperti tepung casava, tepung sorgum, tepung sukun, dll.

Tepung yang semakin mahal sebenarnya merupakan peluang bagi upaya mencari subsitusinya. Tepung casava bisa mensubstitusi sekitar 25% dari kebutuhan terigu untuk roti dan 50% s/d 100% untuk kue-kue lainya. Demikian juga tepung sorgum, tepung sukun, ubi jalar, dll. bisa juga mensubstitusi atau menggantikan sebagian atau seluruhnya bahan tepung terigu.

  Pencarian subsitusi terigu ini adalah upaya awal, namun selanjutnya harus diikuti dengan upaya-upaya dalam rangka meningkatkan pamor tepung-tepung non terigu dan memasyarakatkannya agar bisa menjadi pengganti terigu seterusnya. Tujuan penganeka ragaman pangan itu bermaksud agar kita bisa mandiri di bidang pangan dan tidak tergangu dalam bahan pangan yang lain.

Kemandirian pangan berarti awal dari keamanan pangan. Keamanan pangan menyokong kedalautan pangan, kedaulatan bangsa dan negara. Kita tidak mau terjajah lagi, tergantung dengan bahan pangan dari luar, sebab ketergantungan kita tidak bebas, selalu didekte politik dan ekonominya. Kita tidak mau terjadi krisis lagi, makanya syarat pertama adalah pangan harus aman.

Oleh karena itu upaya untuk menciptakan bahan pangan pokok alternatif, merubah pola konsumsi pangan meningkatkan daya tarik, daya minat, daya konsumsi dari berbagai sumber bahan pangan lokal yang ada, harus terus dan segera dilakukan. Disini peran ibu-ibu sangat penting karena ibu adalah pengendali keputusan di dapur, hal ini karena pangan kuncinya adalah di dapur. Organisasi para wanita seperti PKK, Dharma Wanita, atau organisasi wanita semuanya dapat menjadi trigger atau pemicu dalam upaya membantu terwujudnya keaneka ragaman bahan pangan di daerah.

Selain beras dan terigu, gula juga menjadi fokus perhatian. Gula adalah bahan pangan sumber pemanis. Konsumsi gula nominal kita tinggi, produksi bangsa Indonesia belum mencukupi kebutuhan konsumsinya. Gula sangat identik dengan tebu, padahal sumber-sumber bahan pemanis tidak hanya tebu, masih banyak yang lainnya. Sumber bahan pemanis yang sangat potensial dapat menggantikan dan mengungguli Tebu adalah Aren.  


Aren mempunyai keunggulan yang sangat banyak dibandingkan Tebu, antara lain adalah :
- Produktifitas gulanya mencapai sekitar 40 – 80 ton/tahun/hektar, sedangkan Tebu hanya     menghasilkan gula sekitar 7 – 10 ton/ha/musim.
- Pabrik gula berbasis Tebu hanya bisa aktif beroperasi sekitar 150 hari dalam setahun, sedangkan kalau Pabrik Gula berbasis Aren bisa sepanjang tahun.
- Investasi Pabrik gula berbasis Tebu sangat besar mencapai Rp 1,2 Trilyun dengan kapasitas 5.000 TCD, atau sama dengan membangun 6 unit Pabrik Kelapa Sawit. Sedangkan kalau Pabrik Gula berbasis Aren dengan kapasitas yang sama paling hanya memerlukan investasi sekitar 10-25 Milyard Rupiah.
- Disamping itu Tebu yang biasanya ditanam pada lahan petanian tanaman pangan (padi, kedelai, jagung dan lain-lain) berpotensi mengurangi produksi pangan nasional. Oleh karena itu mengganti bahan baku pabrik dari tebu ke nira Aren akan membuat revitalisasi industri gula menjadi semakin efisien dan menguntungkan. Cuma saja perubahan seperti ini harus dipersiapkan secara matang sehingga tidak terlalu menimbulkan akibat yang kurang baik.

Maka bijaklah dalam memilih sumber bahan pangan dan sumber bahan energi bagi daerah kita masing-masing agar kita bisa mencapai apa yang disebut berdaulat atau mandiri di bidang pangan dan berkedaulatan dengan energi atau mandiri energi.  


Senin, 20 April 2009

ELOI, Makanan pokok dari Singkong masyarakat Pedalaman Kabupaten Nunukan




ELOI, Makanan pokok dari Singkong masyarakat Pedalaman Kabupaten Nunukan

Oleh : Dian Kusumanto

  Eloi adalah makanan pokok masyarakat pedalaman di beberapa kecamatan Kabupaten Nunukan yang diolah dari Ubikayu alias Singkong. Eloi dibuat dari tepung pati sari ubikayu atau singkong dengan cara dimasak seperti membuat lem tapioka.

Di Kabupaten Nunukan ada 3 (tiga) kecamatan yang masyarakat aslinya mengkonsumsi Eloi sebagai menu makanan pokok hariannya, yaitu Kecamatan Lumbis, Sembakung dan Sebuku. Mereka sebagian juga menanam tanaman Padi Ladang atau Padi Sawah, namun hasil berasnya tidak mereka konsumsi tetapi dijual untuk mendapatkan uang bagi keperluan hidup lainnya. Masayarakat yang menjadikan Eloi sebagai bahan makanan pokoknya adalah dari suku dayak yang di pedalaman, khususnya dari suku Dayak Tujung, Dayak Tegalan dan Dayak Agabag.  

Bahan pembuatan tepung sari ubi, atau sering disebut sebagai tepung Nato, biasanya dibuat dari jenis-jenis Singkong tertentu yang banyak mengandung pati. Beberapa jenis ubikayu atau Singkong untuk bahan tepung Nato adalah jenis Singkong yang pahit. Kenapa dipilih Singkong yang pahit, karena biasanya hama seperti Babi tidak menyukainya. Padahal yang paling sering menjadi ancaman bagi petani adalah serangan hama Babi ini.  

Tepung Nato sebenarnya sama dengan tepung Tapioka, bedanya kalau Tapioka selalu disimpan dalam keadaan kering, sedangkan tepung Nato disimpan dalam keadaan basah bersama air di atasnya. Tepung Nato adalah istilah lokal untuk tepung Tapika basah, khusus istilah pada masyarakat Kecamatan Sebuku, Lumbis dan Sembakung di Kabupaten Nunukan.

Panen optimal tanaman Singkong agar kandungan tepung patinya tinggi atau pada tingkat optimal adalah paling tidak berumur sekitar 6 bulan. Di Kecamatan Lumbis paling tidak ada 4 jenis Ubikayu yang biasa diolah untuk Eloi, yang kesemuanya pada saat umur panen memang terasa pahit, namun rasa pahitnya hilang jika diolah menjadi Tepung Nato, bahan untuk makanan Eloi. Nama daerah Ubikayu untuk bahan Eloi tersebut adalah :
1. Ubikayu Sinalak
2. Uikayu Tadong Kabul
3. Ubikayu Kampuan
4. Ubikayu Inunnulai (kulit putih keperakan)

Menu makan Eloi dihidangkan dan dikonsumsi rata-rata mayarakat tadi minimal 2 kali dalam sehari. Dalam suatu keluarga dengan jumlah anggota sekitar 4 orang dapat menghabiskan Tepung Nato sekitar 1 baskom yang berisi sekitar 5 kg untuk selama 2 hari. Jadi rata-rata konsumsi Tepung Nato adalah sekitar 0,6 kg per hari per orang. Kalau dalam sebulan berarti dibutuhkan sekitar 18 kg/orang atau sekitar 216 kg tepung Nato per orang/tahun.

Ubikayu berkulit kalau dikupas menjadi sekitar 80% Ubikayu kupas, sedangkan Ubikayu kupasan bila diolah menjadi tepung Nato menjadi sekitar 18 %. Jadi kalau dihitung konversi Ubikayu berkulit hasil panen dari kebun menjadi tepung Nato adalah sekitar sekitar 15 %, maka jumlah konsumsi ubikayu sekitar 1.440 kg Ubikayu/tahun/orang. Jadi kalau dalam suatu keluarga ada 4 orang anggota maka diperlukan Ubikayu segar sekitar 5.760 kg Ubikayu/ tahun/ keluarga. Kalau dihitung satu musim Ubikayu dari tanam hingga panen, yaitu selama sekitar 6 bulan berarti diperlukan untuk konsumsi Eloi sekitar 2.880 kg Ubikayu/musim/keluarga. Jika seandainya ada juga kebutuhan Ubikayu untuk kepentingan sosial lainnya seperti pertemuan keluarga, adat dan acara-acara sosial lainnya maka dianggap kebutuhan itu meningkat menjadi sekitar 4.000 kg/musim/keluarga. Atau kalau dihitung perorang mejadi sekitar 1.000 kg  

Kalau diasumsikan bahwa produktifitas kebun Singkong sekitar 50 ton/ha/musim, maka Atau hanya diperlukan kebun Singkong seluas sekitar 800 m2 atau dibulatkan menjadi 1.000 m2 per keluarga dengan 4 orang anggota. Kalau dalam suatu keluarga mempunyai 1 hektar kebun Ubikayu dengan produksi dalam waktu 6 bulan sekitar 50 ton/ha, berarti keluarga tersebut masih mempunyai kelebihan cadangan Ubikayu sekitar 45 ton dalam setiap 6 bulan atau ada cadangan selama setahun sebesar 90 ton.  

Artinya masih sangat berlebih-lebih. Kelebihan ini memang biasa digunakan untuk keperluan-keperluan sosial dan lain-lain. Namun selama ini Ubikayu belum menjadi komoditi yang bisa diperjualbelikan yang bisa diganti dengan uang, mungkin karena semua anggota masyarakat memiliki kebun Singkong yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka masing-masing, dan memang akses untuk bisa menjual keluar hanya dalam bentuk umbi masih rugi di ongkos transportnya serta belum ada industri yang bisa menampung hasil kebun ini.

Cara membuat Tepung Eloi atau Tepung Nato
Pembuatan tepung Eloi atau tepung Nato ini sama dengan pembuatan tepung Tapioka. Karena sebenarnya yang dimbil adalah sari pati dari umbinya dengan jalan diparut dan diperas, adapun rincinya sebagai berikut :
1. Ubikayu atau singkong dipungut atau dipanen dari kebun

2. Ubi dikupas dan dicuci dengan air bersih

3. Ubi kemudian diparut

4. Hasil parutan ubi ini ditambah air sedikit-sedikit sampil diperas di atas saringan

5. Air sari pati ubi ini dibiarkan dalam baskom agar patinya mengendap

6. Tepung pati berwarna putih bersih ini akan mengendap di bawah permukaan air perasan atau memisahkan diri.
7. Setelah sekitar 2 jam pengendapan dianggap sempurna dan air diatas endapan pati kemudian dibuang.
8. Tepung Eloi yang putih bersih siap untuk diolah menjadi masakan Eloi.
9. Namun apabila ingin disimpan kembali tepung eloi ini selama ini tidak pernah disimpan dalam keadaan kering seperti tepun tapioka, namun disimpan dalam keadaan basah dan diberi air diatasnya. Supaya tahan lama disimpan biasanya air diatas tepung Eloi ini diganti setiap hari, tentu saja airnya harus air bersih.


Cara mengolah makanan Eloi

Eloi merupakan makanan pokok di daerah Pedalaman Kabupaten Nunukan yang funsinya seperti nasi. Eloi dikonsumsi sebanyak 2 sampai 3 kali dalam sehari, yaitu pagi siang dan sore atau malam. Namun menu pagi sebagai makanan sarapan pagi biasanya agak bervariasi. Pada saat musim padi, baik musim tanam ataupun musim panen menu sarapan pagi biasanya dari beras yang dimasak sebagai nasi atau diolah menjadi bubur. Pada musim bukan padi maka menu sarapan pagi kembali kepada bahan ubi. Bentuk olahan ubi sebagai sarapan pagi juga bervariasi, biasanya diolah menjadi bubur (Bubur Kunikutil), Kue Analog, Kue Budung, atau Eloi.  

Sedangkan menu wajib pada siang dan sore hari adalah Eloi yang diolah atau dimasak dengan cara sebagai berikut :

1. Tepung pati ubi diencerkan dengan air secukupnya dengan cara diaduk-aduk terus supaya tetap larut dan tidak mengendap atau menggumpal
2. Sementara itu air dipanaskan pada wajan atau kuwali diatas kompor yang menyala sampai hampir mendidih
3. Larutan tepung pati (no. 1) sambil terus diaduk, dituangkan secara perlahan diatas wajan yang airnya sudah panas tersebut dan kemudian juga langsung diaduk-aduk secara teratur sambil api agak dikecilkan.
4. Dengan terus diaduk sekitar 2-3 menit kemudian larutan tepung diatas wajan sudah berubah warna menjadi putih keruh.
5. Sambil terus diaduk biasanya ditambahkan air lagi ke atas wajan dan Bubur Eloi tadi kemudian berubah menjadi berwarna lebih bening seperti lem, sebagai pertanda bahwa bubur Eloi sudah masak.

6. Wajan diturunkan dari kompor dan bubur Eloi dibiarkan menjadi agak dingin, dan kemudian siap untuk dikonsumsi.

Cara mengkonsumsi Eloi

1. Bubur Eloi dihidangkan langsung dengan wajan tempat mengolahnya

2. Eloi biasanya dihidangkan dengan sayur pucuk ubi. Saur pucuk ubi biasanya juga dibumui dengan garam dan beberapa jenis ikan atau daging hasil buruan.

3. Penyedap masakan biasanya diambilkan dari daun tanaman bernama ”APA” yang memiliki aroma dan rasa seperti vitsin. Tanaman ”APA” ini memang khas tanaman yang ada di hutan pedalaman Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur.

4. Lauk pauk berupa ikan atau daging yang diawetkan dengan cara ”fermentasi” alami dengan bahan yang disebut sebagai ”LANAM”. Lanam dibuat dari ampas tepung ubi yang digoreng sangrai di atas wajan tanpa minyak. Ikan atau daging yang diawetkan dengan lanam disebut dengan ”TAMBA”.

Cara membuat LANAM 
Lanam dibuat dari ampas tepung sisa perasan eloi yang diolah dengan cara sebagai berikut :
1. Ampas dicuil sedikit demi sedikit diremas-remas dengan dua telapak langan agar berurai dengan ukuran serbuk yang merata dan tidak mengumpal.
2. Biasa juga ampas diperas dengan sangat kering dan sedikit dijemur sambil diurai, atau langsung disangrai diatas wajan dengan api yang tidak terlalu besar.
3. Ampas ubi ini terus diaduk-aduk dan dbalik-balik terus menerus sampai agak berwarna kecoklatan dan dianggap sudah masak.
4. Lanam siap untuk disimpan atau digunakan.

Cara membuat ”TAMBA”
Tamba adalah ikan atau daging yang diawetkan atau ”dimasak” dengan cara fermentasi menggunakan ”lanam” dengan cara sebagai berikut :
1. Ikan atau daging biasanya diiris tipis-tipis dulu dan dibuang durinya, baru ditaburi garam.
2. Beberapa saat kemudian daging atau ikan akan mengeluarkan cairan, cairan dikeluarkan dari daging dan ikan dengan cara ditekan-tekan atau diperas-peras.
3. Ikan atau daging yang sudah agak tiris dari cairannya kemudian ditaburi dengan lanam, kemudian disimpan di dalam tempayan atau guci.
4. Tamba siap dikonsumsi apaila ikan atau daging sudah masak. Untuk sampai masak biasanya memerlukan waktu sekitar 1 minggu. Tanda-tanda kemasakan ikan atau daging biasanya adalah dari perubahan warnanya menjadi lebih gelap atau putih gelap.
5. Tamba biasanya tahan atau awet sampai sekitar 1 bulan.

Pemasakan dan Pengawetan Ikan dan Daging dengan ASAP
Asap yang dimaksudkan adalah asap dari tungku yang berbahan bakar kayu di dapur.
1. Ikan atau daging diiris tipis-tipis kemudian dilumuri dengan garam atau lanam, atau bahkan tanpa diberi apapun.
2. Ikan dan daging disusun di atas togong atau susunan kayu yang berjejer agar jarang yang diletakkan di atas pengasapan dapur. Jarak antara togong dengan tungku sekitar 1 meter.
3. Pengasapan tidak dilakukan secara khusus, namun hanya mengikuti aktifitas tungku dapur dengan frekuensi 2, 3 kali atau lebih.
4. Ikan atau daging yang disimpam diatas asap bisa bertahan sampai sebulan atau lebih. Dan biasanya aromanya sangat khas.

Peran Perempuan sangat dominan

Pekerjaan menanam Ubikayu, memelihara kebun ubi, panen ubi, mengangkutnya sampai ke rumah, kemudian mengolahnya menjadi Eloi dan lain-lain dlakukan hanya oleh para wanita atau perempuan atau para ibu. Pekerjaan-pekerjaan tersebut biasanya dilakukan secara bergotong-royong, bisa 4,5 atau lebih wanita. Secara bergantian mereka bergotong-royong untuk memanen, mengangkut sampai memngolah Eloi bagi satu keluarga, meskipun mereka dari beberapa keluarga yang lain. Pada hari berikutnya berganti kepada keluarga yang lain, mereka tidak menghitung beapa besar jumlah anggota masing-masing, yang penting bisa mencukupi keperluan bagi keluarga yang sedang menjadi sasaran gotong royong tersebut.

Mereka bergotong-royong untuk kegiatan menanam, memanen, mengangkut ubi ke rumah sampai mengolahnya mejadi tepung pati ubi. Kalau 4 orang berarti secara bergotong royong membawakan sebanyak 4 kelong ( keranjang rotan yang digendong) ubi untuk salah satu keluarga. Banyaknya jumlah Ubi yang dipanen disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing keluarga sasaran gotong royong tersebut. Ini dilakukan secara bergantian dari keluarga satu ke keluarga yang lain. Dengan demikian beratnya beban pekerjaan rutin ini menjadi lebih ringan dirasakan karena dikerjakan secara bersama-sama dan dilakukan dengan senang hati. Hal ini termasuk sebagai kearifan lokal yang patut dijaga dan dikembangkan.


Namun demikian kaum perempuan tidak dapat mengakses pendapatan tambahan yang bernilai ekonomi dari kebun ubikayu ini.. Hal ini disebabkan karena hasil kebun yang ditanam belum bisa dijual menjadi uang, belum terbentuk sistem perniagaan atau agribisnis ubikayu. Belum ada lembaga atau swasta atau pegusaha yang menampung ubikayu atau produk olahan lainnya. Demikian juga Eloi, belum menjadi komoditi yang bisa dijual atau diukar menjadi uang, karena sistem budaya dan keadaan masyarakat yang masing-masing sudah memilki Eloi yang bisa digotong-royongkan.

Yang sudah mulai berlaku adalah mengupahkan pemarutan ubi kepada yang memiliki mesin parut dengan mesin. Upah jasa pemarutan belum bersifat sebagai usaha yang terbuka, masih semi bisnis dan sosial. Besarnya upah juga belum ada standardnya,namun biasanya sekitar Rp 5.000 per kelong ubi. Satu kelong atau keranjang beratnya bervariasi tergantung padat dan banyaknya isi, yaitu antara 20-30 kg. Katakanlah rata-rata ada 25 kg ubi per kelong, berarti upah nya sekitar Rp 200/kg ubi. Satu kelong kalau diambil patinya menghasilkan sekitar 1 baskom dengan berat sekitar 5 kg.

Kalau dari kebun dipanen 4 kelong ubi untuk satu keluarga berarti akan menghasilkan sekitar 20 kg tepung Eloi. Rata-rata konsumsi tepung Eloi per keluarga dengan anggota 4-5 orang sekitar 3,5 kg tepung Eloi per hari. Jadi 20 kg tepung Eloi bisa ntuk persediaan selama 5-6 hari. Jadi bagi Ibu-ibu yang bergotong royong untk melakukan aktifitas bersama ini ada jeda waktu antara 1-2 hari. Kalau anggota gotong royong ini ada 4, berarti dalam satu putaran gotong royong ini, selama 4 hari berturut-turut ke kebun dan mengolah Eloi kemudian ada jeda atau istirahat 1-2 hari tidak ke kebun.

Tepung Eloi atau tepung Nato basah bisa disimpan selama sekitar 1 bulan dalam keadaan basah di baskom dengan diberi air diatasnya, dengan cara setiap hari airnya diganti dengan air yan bersih. Kalau tidak diganti dalam waktu 2-3 hari akan terjadi fermentasi dan berbau, rasa Eloinya sudah berubah jika dimasak.  

Kadang untuk keperluan tertentu Eloi dimasak dalam jumlah banyak, sehingga tersisa untuk konsumsi hari itu. Eloi sisa konsumsi sehari sebelumnya masih bisa dikonsumsi lagi dengan cara dimasak ulang dengan penambahan Tepung Eloi baru dengan air secukupnya yang dimasak diatas perapian, diaduk-aduk bercampur dengan Eloi masak yang tersisa tadi.  

Konsumsi Eloi ini tetap dilakukan bila masyarakat sedang berada di luar daerah. Kalau tidak tersedia Tepung Eloi, mereka biasanya membeli Tepung Kanji atau Tepung Tapioka untuk penggantinya. Cara memasaknya sama. Namun aromanya berbeda, tidak seenak bila dibandingkan dengan tepung Eloi yang baru.  

Cara pembuatan Kue Inalog
Kue Inalog adalah sejenis camilan atau kue yang terbuat dari Tepung Eloi atau Tepung Nato atau Tepung Kanji Basah. Cara membuatnya sebagai berikut :
1. Tepung Eloi dibuat berbentuk butir-butir kecil dengan cara meremas dengan menggesekkan dua elapak tangan langsung di atas wajan yang sudah dipanasi.
2. Butir-butir akan jatuh di atas wajan yang panas dibentuk bundar tipis-tipis saja.
3. Kadang Tepung Eloi ini dicampur dengan Gula dan Garam atau parutan kelapa secukupnya, kadang-kadang tidak diberi apa-apa, artinya tepung saja.
4. Setelah butiran tepung merata berbentuk bundar tipis-tipis kemudian ditutup dengan selembar daun pisang. 
5. Sekitar 2-3 menit kemudian kue Inalog sudah masak ditandai dengan warna yang menjadi putih dan sedikit kecoklatan karena panas. 

Petani Krayan Kalimantan Timur yang menanam beras Adan kegemaran Sultan Hasanal Bolkiah


Petani Krayan Kalimantan Timur yang menanam beras Adan kegemaran Sultan Hasanal Bolkiah
 

SESEKALI pria berusia 66 tahun ini mengisap rokoknya dalam-dalam. Matanya menerawang jauh ke luar jendela. Dilihatnya hamparan sawah yang menghijau persis di depan rumahnya. "Kalau kita ingin cepat kaya sekali, bisa saja," kata Lewi Gala, Ketua Adat Kampung Long Layu.  

"Namun kami tidak ingin kaya kemudian sengsara sepanjang hidup kami. Coba lihat hutan-hutan di Jawa, Sumatra dan beberapa tempat lain yang hutan-hutannya sudah habis digunduli, akibatnya bencana banjir dan longsor dimana-mana," tambahnya. 

Lewi Gala menemani saya makan siang di rumahnya. Tangannya yang kecil namun kokoh berotot menggapai tepian jendela dan menariknya, agar bentangan kain yang jadi tempat tidur gantungnya tetap berayun.  

"Sayur pakis dan daun singkong yang kamu makan sekarang, juga makanan dari tumbuhan yang ada di Krayan Hulu. Semua alami, tanpa campuran bahan kimia pestisida. Demikian pula dengan tanaman padi di sawah dan ladang yang kami panen setahun sekali."

Tanpa malu saya menambah nasi. Walaupun hanya dengan lauk sayur pakis, daun singkong dan sepotong ikan goreng, makan siang itu terasa nikmat. Kelezatan Beras Krayan yang dikenal juga dengan beras Adan, menembus perbatasan Malaysia dan Brunai. Konon jadi makanan kegemaran Sultan Brunai, Sultan Hasanah Bolkiah.

Long Layu merupakan kampung terpencil di Kecamatan Krayan Selatan. Satu-satunya transportasi untuk mencapai Long Layu adalah menggunakan pesawat terbang dari Tarakan, dengan jadwal penerbangan sangat sedikit dan tidak pasti. Maskapai yang melayani penerbangan dari Tarakan ke Long Layu dan kampung-kampung lainya di Krayan Selatan seperti Pa'Upan, Long Rungan dan Binuang adalah Susi Air, Kura-Kura Aviation dan Mission Aviation Fellowship (MAF).

Kampung Long Layu, merupakan Ibu Kota Kecamatan Krayan Selatan, Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur, telah melalui sebuah perjalanan panjang. Pada tahun 1987 Lewi Gala mengumpulkan delapan desa di hilir Sungai Krayan untuk bersatu dan menetap di lokasi yang sekarang jadi Long Layu. 

Kampung-kampung di Krayan Hulu berada pada ketinggian 800 hingga 1500 an meter dari permukaan laut. Karena letaknya di kawasan perbukitan, udara di Krayan Hulu sejuk dan dingin di malam hari. Ini mengingatkan saya dengan kawasan Puncak di Jawa Barat atau Tawangmangu di Jawa Tengah. 

Dengan kondisi alam seperti ini sebenarnya dataran tinggi Krayan yang sebagian wilayahnya masuk kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang, sangat potensial untuk bercocok tanam seperti kol, wortel, sawi, timun, kentang, kacang-kacangan dan lain-lain.  

Demikian pula buah-buahan seperti durian, nangka, rambutan, mangga, lengkeng dengan mudahnya tumbuh di daerah subur itu. "Tapi untuk apa menanam itu semua, tidak ada pasar di sini. Siapa yang mau beli buah, sayuran dan beras, masyarakat punya semua," kata Lewi Galo. 

Menurut Lewi Gala, masyarakat di Krayan Hulu hanya menanam untuk kebutuhan makan sehari-hari. Baru beberapa tahun terakhir saja, beras Adan bisa dijual ke Long Bawan, kampung terdekat dari Long Layu, setelah akses jalan darat dari Long Bawan ke Long Layu dibuka. Sebelumnya jalur penghubung kedua lokasi ini hanya lewat transportasi udara.
***

WALAU jalur darat sudah terbuka, namun tidak bisa dibilang mudah. Kondisi jalan seadanya, dan rusak parah bila hujan turun. Ruas jalan sulit dilalui kendaraan roda empat. "Kalau melalui jalan ini jangan lupa bawa alat pancing, karena banyak kolam untuk memancing ikan di sepanjang jalan tersebut," canda Lewi Gali.

Hanya kendaraan ojek motor yang masih berani lewat. Namun dengan harga yang gila-gilaan mencapai Rp 500.000, belum termasuk barang bawaan. Waktu tempuh ojek motor bisa lima jam hingga dua hari tergantung kondisi alam, hujan atau kering. 

Yang membuat mahal transportasi darat selain sarana jalan yang buruk juga karana bahan bakar yang mahal bisa mencapai Rp 25.000 per liternya. Justru naik pesawat jauh lebih murah dari Long Bawan ke Long Layu yang hanya Rp.250.000 dengan waktu tempuh hanya 10 menit.

Kondisi inilah yang membuat Long Layu terisolasi, terbelakang dan terkucil. "Masyarakat Long Layu memendam benci tapi rindu kepada pemerintah Indonesia," ungkap Lewi Gala. "Kami merasa seperti belum merdeka, kami masyarakat Long Layu merasa terjepit, karena ditekan Malaysia dan tidak diperhatikan pemerintah Indonesia."  

Menurut Lewi Gala, warga Malaysia melakukan diskriminasi kepada warga Krayan. Harga kebutuhan pokok dari Malaysia dijual dengan harga sangat tinggi. Sementara mereka membeli produk warga Krayan dengan harga begitu rendah. Belum lagi upah kerja, ada perbedaan antara warga Krayan dengan warga asli Malaysia. Warga Long Bawan dan Krayan biasa membawa dan menjual hasil bumi ke perbatasan di kawasan Bakalala. 

"Kurang apa kesetiaan warga Krayan kepada Indonesia," lanjut Lewi Gala. Ketika konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia pecah tahun 1963, masyarakat Krayan membantu kebutuhan logistilk tentara Indonesia selama tiga tahun lamanya. "Sekarang kami merasa dilupakan. Sebenci-bencinya kami pada pemerintah Indonesia, kami tetap cinta Indonesia, tidak terbersit sedikitpun untuk ikut Malaysia." 

Lebih lanjut Lewi Gala mengungkapkan, "Kami tidak minta banyak kepada pemerintah Indonesia, kami hanya minta pemerintah membuka akses jalan dari Long Layu ke perbatasan dengan kota Miri di Sarawak, Malaysia yang jaraknya hanya 30 Km. Sehingga ada pasar untuk semua hasil bumi masyarakat di Krayan," tuturnya. (Dody Johanjaya)

Dipetik pada hari Kamis, 1 Januari 2009 | 23:48 WIB

Bupati Dapat Penghargaan dari Presiden, Peningkatan Produksi Beras Nasional di Atas 3 Persen


Bupati Dapat Penghargaan dari Presiden,  Peningkatan Produksi Beras Nasional di Atas 3 Persen

NUNUKAN- Bupati Nunukan H Abd Hafid Achmad mendapatkan penghargaan dari Presiden SBY, di Istana Negara 18 Desember lalu, karena berhasil melakukan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) diatas 3 persen. 

Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan (Kadispertanak) Nunukan, Jabbar melalui Kabid Produksi Tanaman Pangan dan Hortikultura, Subandi mengatakan, penghargaan ini diberikan kepada bupati, karena telah melakukan peningkatan produksi beras diatas 3 persen. “Khususnya tiga tahun terakhir. Pada tahun 2007-2008, peningkatan produksi beras sebesar 9,66 persen,” ungkapnya. 

Penghargaan ini tidaklah mudah didapat. Melalui Dispertanak, Pemkab Nunukan melakukan berbagai program. Yakni bantuan benih unggul bersertifikat di seluruh kecamatan, kecuali Krayan dan Krayan Selatan. “Di Krayan itu khusus, petani di sana punya padi organik,” katanya. 

Selain itu, dispertanak juga melakukan pembinaan teknologi untuk petani melalui PPL. Diantaranya pengawasan pemupukan, penyemaian, pengolahan tanah sampai pasca panen. Sedangkan sarana prasarana, melalui APBD Nunukan, dispertanak telah memberikan bantuan handtractor ke kelompok tani. 

Hingga mendapatkan penghargaan tersebut, petani Nunukan menggunakan varietas unggul. Yakni IR-64, Ciherang dan Cimelati. Produktivitas varietas unggul ini sekitar 5,2 ton per hektare. 

Kedepannya di tahun 2009, melalui sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SLPTT) kepada kelompok tani, Dispertanak Nunukan akan melaksanakan intensifikasi padi sawah seluas 3.500 hektare. 

“Dengan menggunakan bibit dan pemupukan berimbang disertai pembinaan kontinyu. PPL yang menjadi ujung tombaknya,” terangnya. Dari 3.500 hektare lahan ini, Nunukan mendapat jatah 1.000 hektare, Sebatik 2 ribu hektare dan 500 hektare sisanya tersebar di Sebuku, Sembakung dan Lumbis. Sedangkan ekstensifikasi padi, dilakukan perkembangan areal cetak sawah seluas 250 hektare di Simengkadu. “Kecamatan lain belum bisa, karena banyak kawasan yang cocok tanam masuk dalam kawasan budidaya kehutanan (KBK). Untuk itulah, diharapkan DPRD Nunukan mempercepat perubahan RTRW,” jelasnya. 

Selain P2BN, Dispertanak juga akan melaksanakan ujicoba system rice intensification (SRI). Program ini merupakan salah satu upaya untuk mendobrak peningkatan produksi padi. Dalam hal ini, Dispertanak Nunukan akan menggunakan bibit unggul, pupuk berimbang, tanam benih muda, pengaturan pengairan, jarak tanam yang tepat dan lainnya. “Target tahun depan, peningkatan produksi beras sebesar 10 persen,” ungkapnya. (dew)

Sumber : Radar Tarakan/Sabtu, 27 Desember 2008

Beras Lokal Harus Penuhi Kebutuhan Daerah Agar Tidak Tergantung Pasokan dari Daerah Lain


Beras Lokal Harus Penuhi Kebutuhan Daerah Agar Tidak Tergantung Pasokan dari Daerah Lain

NUNUKAN - Beras lokal dari Krayan dan Krayan Selatan banyak diminati pedagang dari Malaysia dan Brunei, serta sebagian kecil ke Tarakan dan Nunukan.  Sedangkan beras lokal dari Sebatik dan Sebatik Barat banyak yang dikirim ke Tawau, Malaysia dan Tarakan serta Nunukan. Beras dari Lumbis banyak dijual ke Malinau dan Sebuku. Kemudian beras dari Sembakung banyak juga yang dijual ke Tarakan dan Sebuku.

Kabid Ketahanan Pangan Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Daerah (BKP3D) Nunukan Dian Kusumanto mengungkapkan, jika sistem distribusi dan akses transportasi antar kecamatan lancar, hasil beras dari Krayan dapat diangkut ke Nunukan dengan biaya yang murah, pasokan dari luar daerah tidak akan sebesar sekarang ini. 

“Kenyataannya, Kota Nunukan dan Sebuku masih sangat tergantung dengan pasokan beras dari luar daerah. Selain itu beras lokal masih kalah bersaing dengan beras dari Sulawesi dan Surabaya,” jelasnya. 

Pedagang masih sering mengeluhkan mutu beras lokal karena banyak butir beras pecah, beras kurang putih dan utuh, tidak awet dan cepat berkutu, sehingga penampilannya kalah bersaing dengan beras dari luar daerah. Sehingga konsumen kelas tertentu agak enggan membeli. 

Padahal sebenarnya, beras lokal lebih aman dikonsumsi karena tidak ada bahan pengawetnya. “Tidak terlalu putih sebenarnya lebih bergizi, sebab beras yang putih mengkilat sudah pasti kehilangan lapisan kulit ari yang banyak mengandung vitamin B kompleks,” terangnya.

Untuk perbaikan mutu ini sebenarnya sudah banyak dilakukan upaya pembinaan pasca panen bagi para operator mesin giling padi (RMU atau rice milling unit). Namun kadang para pengelola RMU masih belum konsisten dengan standar mutu yang diinginkan para pedagang dan konsumen, sehingga kadang masih saja dijumpai petani yang kesulitan memasarkan berasnya kepada para pedagang.  

Sebagian pengelola RMU mengeluhkan alat mesinnya yang masih satu fase, sehingga mutu beras hasil giling masih banyak yang patah-patah. Namun sudah ada juga pengelola RMU yang produk berasnya sudah bisa diterima pasar karena menerapkan standar mutu dari konsumen. 

“Masalah ini menjadi perhatian instansi terkait untuk terus membina para pengelola RMU dan terus melakukan mediasi dengan para pedagang beras yang ada, sehingga mutu dapat terus ditingkatkan dan dapat bersaing dengan beras luar daerah,” katanya. 

Defisit beras biasanya terjadi pada sekitar Bulan April, Mei, Juni dan Juli. Bulan Juni dan Juli merupakan puncak masa defisit karena cadangan dari panen petani sudah menipis. Mulai bulan Agustus, krisis beras mulai berkurang karena adanya panen padi di beberapa sentra produksi. Untuk mengantisipasinya, pemerintah harus dapat menjamin ketersediaannya pada bulan-bulan kritis tersebut. 

Caranya dengan membangun sistem cadangan pangan daerah, dengan langkah menyediakan dana cadangan pangan daerah dan membangun gudang beras di Kota Nunukan dan Sebuku, serta memasyarakatkan lumbung pangan desa di setiap kantong-kantong produksi.
Dana cadangan pangan daerah dapat berfungsi ganda. Selain menjamin adanya cadangan pangan, juga sebagai stabilisasi harga baik di tingkat produsen padi dan beras maupun di tingkat konsumen. 

Pada saat panen, dana ini bisa digunakan untuk menampung beras petani dengan standar harga tertentu sehingga harga tidak turun dan merugikan petani. “Demikian juga pada saat beras berkurang di tingkat konsumen, cadangan pangan yang ada dapat menekan terjadinya lonjakan harga yang tidak terkendali,” imbuhnya.(dew)

Produksi Surplus, Masih Dipasok Beras dari Luar

Produksi Surplus, Masih Dipasok Beras dari Luar

NUNUKAN - Surplus beras di Kabupaten Nunukan ternyata belum menjamin kebutuhan beras di kota Nunukan. Menurut data luas panen dan produksi padi yang terkumpul mulai 2005 sampai 2008, surplus padi setelah dikurangi konsumsi penduduk di Kabupaten Nunukan mencapai rata-rata 19.351 ton GKP (Gabah Kering Panen) per tahun, atau setara dengan 11.610 ton beras per tahun.

Kepala Bidang Ketahanan Pangan di Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Daerah Nunukan Dian Kusumanto mengungkapkan, kelebihan produksi itu ada di Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan yang mencapai 21.292 ton GKP.

“Namun pada kenyataannya, kelebihan produksi di dua Krayan ini tidak terakses ke kota Nunukan. Hanya sebagian kecil saja yang dibawa untuk oleh-oleh atau suvenir dan bukan sebagai barang komoditi yang diperdagangkan secara massal,” terangnya.

Dengan penduduk Kabupaten Nunukan yang mencapai 129.011 jiwa pada 2008, konsumsi beras dalam setahun mencapai 18.062 ton atau setara dengan GKP 30.103 ton. Angka tersebut dihitung berdasarkan asumsi konsumsi beras 140 kilogram/jiwa/tahun dan nilai konversi GKP ke beras sebesar 60 persen.

Ditambahkan, dari 8 kecamatan di Nunukan, ada dua kecamatan yang mengalami angka ketersediaan padi (beras) minus, yakni Kecamatan Nunukan minus 7.655 ton GKP/tahun dan Kecamatan Sebuku mengalami minus 970 ton GKP/tahun. 

“Artinya di Sebuku dan Nunukan terjadi defisit ketersediaan sebesar 8.625 ton GKP/tahun atau setara dengan beras sebesar 5.175 ton beras/tahun atau 431 ton beras per bulan,” katanya.

Tentu saja kekurangan ini tidak dapat disuplai dari kelebihan di 2 kecamatan di Krayan. Kekurangan beras di Kecamatan Sebuku sebenarnya bisa dicukupi dari kelebihan produksi di Lumbis dan Sembakung, tapi nyatanya Sebuku masih sangat tergantung suplai beras dari para pedagang di Kota Nunukan.  

Kecamatan Nunukan dengan penduduk sebesar 55.701 jiwa memerlukan beras sekitar 7.798 ton per tahun atau setara dengan padi atau gabah sebesar 12.997 ton GKP/tahun. Dengan produksi padi sekitar 5.342 ton GKP/ tahun setara dengan beras 3.205 ton/tahun. “Maka kekurangan Kecamatan Nunukan masih sekitar 4.593 ton beras per tahun atau sebesar 383 ton beras per bulan,” jelasnya.

Ia menambahkan, maka wajar saja kalau dari 12 pedagang beras yang ada di Kota Nunukan mendatangkan beras rata-rata 300 ton per bulan atau dalam setahun pasokan pedagang mencapai 3.600 ton beras. “Dari angka itu dapat disimpulkan, pasokan beras lokal untuk menutupi kekurangan beras di Kecamatan Sebuku dan Nunukan hanya sebesar 131 ton per bulan atau 1.572 ton beras per tahun yang dipasok dari Kecamatan Sebatik, Sebatik Barat, Sembakung dan Lumbis,” imbuhnya.

Ketergantungan pasokan dari luar daerah, katanya, bisa dikurangi jika produksi padi selalu mencapai surplus. “Makanya upaya-upaya untuk peningkatan produksi padi harus terus menerus dilakukan. Seperti cetak sawah baru dan intensifikasi yang dilakukan dengan perbaikan mutu benih, pemupukan yang berimbang dan panca usaha tani lainnya,” terangnya.  

Selain itu, perlu terus berupaya menekan adanya alih fungsi lahan sawah menjadi non sawah seperti jalan, perumahan, dan lain-lain, atau bahkan menjadi kebun kelapa sawit. “Kalau tidak diwaspadai, maka semakin lama akan semakin sedikit luas sawah yang ada dan kita akan semakin tergantung dengan pasokan dari luar daerah,” tegasnya.

Keadaan ini, lanjutnya, akan mengkhawatirkan ketahanan pangan daerah. Apalagi jika pasokan dari luar terputus akibat berbagai hal, seperti transportasi kapal terganggu karena ombak terlalu besar, seperti sekarang ini. Atau kapal-kapal dari Surabaya dan Sulawesi menunda keberangkatannya karena ombak laut terlalu berbahaya. Hal ini akan mengganggu keamanan pangan di Nunukan.

“Kelangkaan beras juga bisa menimbulkan melonjaknya harga di atas rata-rata, karena pemainan para pedagang beras spekulan. Masalah akan semakin besar seandainya daya beli masyarakat menurun dan krisis pangan akan dapat memicu krisis lainnya,” tandasnya. (dew)

SUMBER :  http://www.kaltimpost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=12041

Nunukan Produksi Beras Terenak di Dunia





Nunukan Produksi Beras Terenak di Dunia

Kesulitan Pasar, Harga di Brunei Capai Rp20 Ribu per Kilogram

SAMARINDA - Kabupaten Nunukan, tepatnya di Krayan, ternyata menghasilkan beras yang disebut-sebut paling enak di dunia. Beras tersebut merupakan hasil produksi padi lokal Nunukan, yang selama ini dikembangkan di areal dengan luas sekitar 3.000 hektare. 


"Jenis padi lokal ini memiliki rasa yang belum ada tandingannya. Ini bisa ditanyakan kepada masyarakat yang pernah mengonsumsinya," tandas Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kaltim, Purwanto didampingi Kepala Dinas Pertanian Nunukan, H Suwono Thalib. 

Sayangnya, kata Purwanto, petani selama ini masih kesulitan memasarkan hasil produksi mereka. "Pemasaran selama ini hanya sampai wilayah Malaysia. Kemudian setelah sampai ke tangan pengusaha Malaysia, beras lokal Nunukan diganti cap atau mereknya dengan produk Malaysia untuk dipasarkan kembali," sebutnya. 

Beras produksi Krayan ini belum memungkinkan dipasarkan ke daerah lain karena terkendala transportasi. "Untuk biaya angkut saja, per kilogramnya bisa mencapai Rp15 ribu. Jadi tidak mungkin bisa dipasarkan di dalam negeri," katanya. 

Disingung jumlah produksi dan pasar, Purwanto mengatakan dari lahan seluas 3.000 hektare tersebut bisa menghasilkan 6.000 ton setiap panen (6-7 bulan) atau sekitar 12.000 ton per tahunnya. Dari jumlah itu, yang bisa dipasarkan hanya sekitar 1.500 ton untuk sekali masa panen. Sisanya digunakan untuk kebutuhan pribadi dan 10 persennya diberikan kepada gereja setempat. "Jadi hanya 30 persen yang bisa dipasarkan," tuturnya. 

Menurutnya, di Nunukan beras tersebut dijual dengan harga Rp6 ribu per kilogram. Kemudian setelah sampai di Brunei Darussalam jenis beras itu dijual dengan harga Rp20 ribu per kilogram. "Untuk mendongkrak harga beras memang harus dilakukan sertifikasi padi. Inilah nanti yang akan kita lakukan. Sebab dalam pemasarannya, masyarakat selama ini hanya berdasarkan kesepakatan," tambah Purwanto. 

Untuk membantu petani, Pemprov Kaltim juga telah membantu Dinas Pertanian Nunukan berupa pengadaan penggiling padi senilai Rp75 juta, yang dibeli tahun 2005. "Ini untuk memudahkan petani menggiling padinya setelah panen. Kemampuan mesin penggilingan tersebut 3 sampai 5 ton per jam. Berarti sanggup menggiling hasil panen untuk areal seluas 200 hektare. Kalau penggilingan biasa kan hanya 50 hektare," tandasnya. 

Lantas apa yang membuat padi lokal Nunukan memiliki rasa enak? Suwono menjelaskan, kondisi tersebut sangat dipengaruhi topografi. "Posisi Nunukan berada di ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut (dpl), sedangkan ph tanah mencapai 7 dan berada di daerah penggunungan yang memiliki kandungan garam," tuturnya. (gs) 

(Submitted by News Aggregator on Wed, 08/03/2006 - 09:49)

Warga Nunukan Tidak Selalu Konsumsi Beras






MASALAH PANGAN DI NUNUKAN :

Warga Nunukan Tidak Selalu Konsumsi Beras 


Laporan Wartawan Kompas Ambrosius Harto

SAMARINDA, KOMPAS--Untuk memenuhi kebutuhan pangan, warga Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Sebakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, tidak selalu bergantung pada beras. Warga gemar makan ilui dari singkong yang dikombinasikan dengan sayur daun ubi dan sup ikan.

Makanan khas Dayak itu mirip bubur lem. Bahannya dari singkong yang diparut dan diperas sehingga tinggal serbuk. Serbuk itulah yang dimasak selama 10 menit menjadi ilui. Ampas singkong tidak dibuang tetapi menjadi pakan babi.

“Makanan lokal seperti ilui layak dikampanyekan agar kebergantungan daerah terhadap beras bisa berkurang,” kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian Kaman Nainggolan di Balikpapan, Kaltim, Rabu (21/2).

Kaman mengatakan makanan-makanan lokal dari singkong, ubi, jagung, dan sagu sebenarnya sangat layak jadi sumber karbohidrat pengganti beras. Misalnya di Papua dan Maluku, masih bisa dijumpai orang makan makanan dari sagu. 
Namun, karena sosialisasi kurang, makanan lokal kurang diminati. Masyarakat cenderung mengonsumsi beras. Padahal, daerah-daerah di Indonesia tidak seluruhnya penghasil padi.

Kaman menuturkan masalah muncul ketika stok beras di suatu daerah yang bukan penghasil ternyata menipis. Di sisi lain, ketika kriris terjadi masyarakat setempat tak lagi terbiasa mengonsumsi bahan makanan selain beras.
“Untuk menurunkan ketergantungan terhadap beras, semua daerah perlu berinovasi mengampanyekan makanan lokal,” kata Kaman. Ketika makanan lokal semakin digemari, bahan dasar makanan misalnya singkong, ubi, sagu, dan jagung semakin banyak ditanam oleh petani.

Ketahanan Pangan Di Kabupaten Nunukan






Ketahanan Pangan Di Kabupaten Nunukan

Oleh : Ir. Dian Kusumanto
(Kepala Bidang Ketahanan Pangan BKP3D Kabupaten Nunukan)

Ada statemen menarik yang sering dilontarkan oleh Bapak Bupati Nunukan, H. Abdul Hafid Ahmad dalam beberapa kali kesempatan. Beliau mengatakan, apa artinya pembangunan fisik yang megah dan canggih, ibaratnya seperti membangun jalan yang mulus sampai tujuh lapis, gedung bertingkat yang megah, sarana prasarana yang serba canggih, namun masyarakatnya lapar dan tidak tersedia pangan yang cukup. Pembangunan akan menjadi sia-sia, karena kebutuhan dasar masyarakat yang sesungguhnya tidak terpenuhi, yaitu pangan.

Maka urusan pangan adalah urusan yang paling azasi, urusan yang sangat mendasar, yang harus aman terlebih dahulu. Maka kita harus mencapai apa yang disebut sebagai Keamanan Pangan. Pangan dikatakan sudah aman kalau memenuhi 3 kriteria :
1. Aman produksi, 
2. Aman distribusi, dan 
3. Aman konsumsi.

Aman produksi artinya setiap wilayah memiliki produktifitas yang mencukupi setiap saat, dengan aneka produk pangan yang diperlukan atau dibutuhkan sesuai syarat kesehatan bagi seluruh warganya, khususnya produk pangan pokok. Setiap keluarga atau rumah tangga mempunyai produktifitas yang memadai atau memiliki kemampuan untuk mengadakan bahan pangan yang diperlukan bagi anggota keluarganya.

Aman distribusi artinya seandainya disisi lain ada wilayah yang produknya belum mencukupi wilayah yang lain bisa mendistribusikan kelebihan panganya setiap saat diperlukan. Artinya ada kemudahan akses untuk menyebarkan kelebihan produksi ke wilayah yang kekurangan produksi. Aspek distribusi ini erat hubungannya dengan sarana dan prasarana transportasi, baik darat, sungai, laut maupun udara dengan lancar setiap saat dan dengan harga yang terjangkau. Distribusi yang aman berarti juga bisa mengatasi hambatan alamiah yang mungkin terjadi atau hambatan yang disebabkan oleh kejadian politik, sosial dan ekonomi budaya dan sebagainya. Dengan distribusi yang aman menjamin pangan bisa merata dan mencukupi sampai pada tingkat rumah tangga setiap saat diperlukan.

Aman konsumsi artinya bahan pangan yang dikonsumsi oleh warga mencukupi dalam jumlah (kuantitas) dan memenuhi syarat kualitas serta kontinyuitasnya, sehingga bisa menjamin kesehatan dan kelangsungan hidup warga, secara berkelanjutan. Jumlah yang cukup menurut kandungan gizinya ( kalori, protein, vitamin, serat dan lain-lain ).

Di Kabupaten Nunukan secara keseluruhan sebenarnya dapat dikatakan sudah aman dari aspek produksinya, terutama dalam hal jumlah produksinya. Secara jumlah Kabupaten Nunukan mengalami kelebihan dan sudah mencukupi, bahkan ada kelebihan terutama produksi padi (beras). Namun masalah yang masih dihadapi Kabupaten Nunukan adalah ancaman bagi ketersediaanya pada daerah yang padat penduduknya dan adanya ancaman ahli fungsi lahan pertanian ke non pertanian.

Ancaman terhadap produksi lainya adalah kegairahan petani, kalau petani tidak bergairah dengan usaha taninya, petani akan beralih ke usaha lainya seperti menjadi nelayan, buruh kebun sawit, TKI ke luar negeri atau usaha non pertanian lainnya. 

Lahan yang tersedia sebenarnya cukup banyak namun SDM dan peranan yang ada belum dimanfaatkan secara optimal. Banyak lahan-lahan pertanian ditinggalkan atau belum mampu digarap kembali. Pemerintah harusnya bisa mengairahkan kaum petani untuk memicu produktifitasnya. Segala daya upaya yang dilakukan oleh para petani harus diapresiasi atau dihargai dengan pantas, sehingga petani juga bisa meningkatkan SDMnya agar produknya tetap berdaya saing sehingga dapat dihargai dengan pantas di pasar.

Tokoh-tokoh masyarakat, lembaga-lembaga swadaya masyarakat sepatutnya turut mendorong keberpihakan semuanya kepada petani. Daya saing produk-produk lokal harusnya ditingkatkan agar mempunyai kelebihan kompetitif dan komperatif. Kelebihan kompetitif dalam hal mutu, kualitas, harga, dan penampilan. Sedangkan kelebihan komperatif .karena berciri khas.tertentu, nilai lebih spesifik yang tidak dimiliki produk dari luar, disamping itu kontiutas ketersediaanya juga selalu terjaga sesuai kebutuhan dan permintaan.

Aman Produksi juga menyangkut produksi bahan pangan yang beragam. Dengan beraneka ragam hasil pangan bisa saling komplenter dan saling substitusi aau saling menggantikan. Karena masing-masing wilayah tentu memiliki budaya, kesesuaian iklim yang bermacam-macam, maka keberagaman sumber bahan pangan harus tetap dijaga dan bahkan terus dikembangkan.

Kelebihan produksi bahan pangan tertentu di daerah satu bisa mengisi kekurangan di daerah yang lain yang mungkin lebih pada bahan pangan lainnya.. Jadi bisa jadi bisa saling tukar menukar bahan pangan lainnya. Yang penting ada produksi dan bisa saling mengisi atau saling distribusi.

Keberagaman jenis-jenis sumber bahan pangan juga memberi nilai lebih pada aspek konsumsinya. Semakin beragam bahan pangan maka nilai gizi juga akan semakin komplementer, zat gizi kurang dibahan yang satu bisa dicukupi dari bahan pangan yang lainnya, demikian sebaliknya.

Daya beli dan kemiskinan

Namun keamanan pangan juga akan terancam seandainya daya beli masyarakat tidak ada atau kecil. Bahan pangan mungkin sangat tersedia tetapi kalau tidak dapat mengakses, tidak memiliki daya beli, atau miskin dan tidak berpenghasilan yang cukup, maka keamanan pangan juga terancam. Jadi keamanan pangan tidak terjadi seandainya masyarakatnya tidak berpenghasilan atau sangat miskin. Maka sebenarnya akar dari keamanan pangan adalah kemiskinan itu sendiri.

Malaysia bisa jadi tidak punya bahan pangan yang cukup, tapi dengan kekayaannya dari komoditi non pangan dapat membuat mereka bisa membeli bahan panganya dari negara lain karena memiliki daya beli yang kuat. Brunei juga seperti itu. Namun apabila distribusi terganggu karena adanya faktor-faktor alam, keadaan politik dan kebijakan-kebijakan dari negara produsen pangan berubah, maka mereka juga tidak akan aman pangannya secara berjangka panjang.

Bagi Indonesia yang dianugerahi alam yang memungkinkan aneka bahan komoditi pangan dapat diproduksi sepajang tahun, seharusnya menjadi negara sumber bahan pangan dunia, menjadi lumbung pangan dunia. Dari daratan, sungai, dan lautan semua bisa menghasilkan produk-produk yang cukup sepanjang tahun. Seharusnya ini menjadikan Indonesia memiliki kelebihan komperatif sekaligus kelebihan kompetitif sebagai produsen bahan pangan dunia.

Ketergantungan Pupuk Kimia dan Usaha Tani Terpadu

Kelangkaan pupuk kimia tidak harus menjadi alasan terjadinya ancaman produksi pangan. Padahal kearifan lokal dan perkembangan teknologi pertanian organik sudah membuktikan bahwa kita seharusnya tidak tergantung dengan pupuk dan obat-obatan kimia yang mahal harganya dan selalu impor dari luar.

Kearifan lokal dan penerapan teknologi pertanian organik harusnya menjadi agenda penting menuju kemandirian petani dan kedaulatan pangan. Penataan sistem usaha tani yang terpadu sehingga bisa mensinergikan antara pangan, pakan dan energi, sekaligus membuat usaha tani lebih bergairah. Sinergi yang cantik akan meningkatkan produktifitas, mengoptimalkan efesiensi input dan memaksimalisasi output usaha tani memang memerlukan manajemen yang memadai.

Krisis-krisis yang terjadi sudah seharusnya membuat bangsa Indonesia lebih arif dalam mengelola pola-pola yang sinergi antara kearifan lokal dan teknologi dengan peluang-peluang globalisasi jang ada untuk mencapai kemandirian pangan, pakan dan energi.