........Selamat Hari Jadi Kab. Nunukan ke 13 tgl 12 Oktober 2012.......

Selasa, 27 Januari 2015

Indonesia kini memasuki Darurat Pangan ???

GKR Hemas: ”Indonesia Kini Memasuki Darurat Pangan”

Ikhwan Mansyur Situmeang

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Gusti Kanjeng Ratu Hemas menyesalkan kenaikan harga sembilan bahan pokok (sembako) yang merata di berbagai daerah hari-hari belakangan ini. Pemerintah fokus membangun swasembada pangan sembari mengurangi impor pangan atau ketergantungan Indonesia yang sangat tinggi terhadap produk pangan luar negeri. Kenaikan harga pangan harus menjadi prioritas Pemerintah yang dilaksanakan sungguh-sungguh.

”Kenaikan harga sembako membuktikan bahwa Indonesia kini memasuki darurat pangan,” ujarnya di lantai 8 Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (11/8/2011). Kenaikan harga bukan lagi masalah rutin yang selalu terjadi selama bulan Ramadhan dan menjelang Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri, melainkan karena Indonesia kini memasuki darurat pangan.

Karenanya, Hemas mengatakan, penanganannya jangan parsial hanya mengatasi kenaikan harga sembako selama bulan Ramadhan dan menjelang Lebaran tapi harus menyeluruh mengatasi situasi kondisi darurat pangan. Caranya, Pemerintah fokus membangun swasembada pangan sembari mengurangi impor pangan. ”Kita harus membangun swasembada pangan sembari mengurangi impor sesegera dan seoptimal mungkin, terutama bahan pangan yang bisa terproduksi di dalam negeri.”

”Saat yang sama, impor pangan tidak terkontrol. Hampir semua bahan pangan yang semestinya bisa dipenuhi di oleh produk pangan dalam negeri, kini diimpor dalam jumlah besar-besaran,” kata Hemas. Akibatnya, sentra-sentra produksi di sejumlah daerah yang dulu berjaya kini merana dan terbengkalai. Misalnya, sentra produksi bawang di Brebes dan Tegal.

Ia mencatat, harga bahan pangan menaik sejak bulan Januari lalu. Sepanjang bulan Januari hingga Juni 2011, Indonesia mengimpor jutaan ton beras, jagung, kedelai, biji gandum, meslin, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging, mentega, minyak goreng, susu, telur, ayam, kelapa, kelapa sawit, lada, kopi, cengkeh, kakao, cabe kering, cabai, garam, tembakau, kacang-kacangan, jagung, bawang.

Indonesia juga mengimpor bawang merah belasan ribu ton dari India, Filipina, dan Thailand. Singkong pun diimpor berton-ton dari China dan negara-negara lain. Begitu juga garam yang diimpor hampir dua juta ton dari Australia, Singapura, Selandia Baru, Jerman, dan India.

”Semuanya bahan kebutuhan pokok. Kenaikannya terus menerus. Indonesia kini menjadi negara pengimpor segalanya. Beberapa jenis berfluktuasi tetapi trend-nya naik,” ujarnya. Diperkirakan, Rp 45 triliun total impor pangan sejak bulan Januari hingga Juni 2011.

Data tersebut membuktikan kebijakan Pemerintah saat ini cenderung atau lebih suka mengimpor pangan karena mudah ketimbang fokus membangun swasembada pangan yang memerlukan kerja keras tetapi bermanfaat jangka panjang. “Dan, mungkin menguntungkan pihak tertentu,” katanya.

“Indonesia telah kehilangan kedaulatan pangannya. Pemerintah jangan lagi bermain-main dengan menyatakan persediaan pangan cukup. Bahkan ada yang menyatakan surplus. Di pasar-pasar harga pangan membumbung. DPD mengingatkan bahwa masalahnya kini bukan hanya harga-harga yang naik selama Ramadhan dan menjelang Lebaran, tapi masalah darurat pangan dan hilangnya kedaulatan pangan kita.”

Menurutnya, jika Indonesia memasuki darurat pangan dan kehilangan kedaulatan pangan maka masalah serius yang terjadi berdampak jangka pendek. Karenanya, DPD mendesak pemerintah segera menyelesaikan masalah utamanya, yakni membangun swasembada pangan sembari mengurangi impor sesegera dan seoptimal mungkin, terutama bahan pangan yang terproduksi di dalam negeri seperti garam, singkong, ayam, dan telur.

Sumber : http://m.kompasiana.com/post/read/475196/1/gkr-hemas-%e2%80%9dindonesia-kini-memasuki-darurat-pangan%e2%80%9d.html

One Day No Rice dengan Merubah Habit

One Day No Rice, Tidak Cukup Boss; Merubah Habit-nya [EkonomiNet – 16]

Muhammad Wislan Arif

Tingkat Kebutuhan Beras di Indonesia ---dapat dipengaruhi oleh Tingkat Kelahiran, Kenaikan Produksi Beras, dan Diversifikasi Bahan Pangan.

Lantas ?

Konon (masalahnya, tidak mendengar gaung kampanyenya, direktif dan pelaksanaannya) --- apa lagi keberhasilannya.Konon sejak 2010 Kementerian Pertanian telah meng-instruksikan para Gubernur dan Kepala Daerah, untuk mengurangi konsumsi nasi, lewat kampanye One Day No Rice ---Media Indonesia, Ekonomi Nasional, 25072011.

Habit, perangai mau dirubah dengan gayaFun--- Fun Bike, One Car-free Day.Ahoy !

Masalah Nasi yang menjadi menu utama di Indonesia --- bisa menjadi masalah besar apabila :

1.Gagal panen di Indonesia, baik karena pengaruh iklim, bisa pula pengaruh menurunnya kapasitas infrastruktur pertanian --- irigasi dan saluran.

2.Meningkatnya harga pupuk karena pengaruh harga gas internasional --- maupun jenis lain yang harganya meningkat di pasar internasional --- dan ini satu lagi kelemahan di Indonesia --- gangguan sistem logistik nasional, distribusi terganggu. Gangguan hama dan tingkat harga obat-obatan sarana produksi pertanian.

3.Stock Nasional terancam karena terganggunya impor;tingkat persediaan di pasar internasional, harga naik, krisis moneter kalau Indonesia sampai terlibat --- gangguan cadangan devisa atau kenaikan kurs dollar (tidak percaya Cadangan devisa Indonesia kuat, tanpa bubble economy hot money yang berspekulasi di Indonesia) --- kelesuan di USA dan Eropa, kapan rebound ? Kalau Hot money melesu apakah Ekspor Indonesia bisa cepat mengkompensir ?Untuk beli beras mas !

4.Selain peningkatan produktivitas panen padi --- juga memperhatikan segi rendemen proses pasca panen.Rada boros yang terbuang.

5.Itu tadi, Pengendalian Tingkat Pertumbuhan Penduduk harus mantap --- sesuai dengan tingkat produktivitas pertanian di bidang Beras.

6.Upaya lain, yakni Kebiasaan Konsumsi Beras sebagai bahan pangan utama dirombak--- rencanakan dengan rapi Diversifikasi Bahan Pangan :


a.Deklarasikan Bahan Pangan Indonesiaadalah : Beras, Jagung, Sagu, Umbi-umbian dari Merauke sampai Sabang

b.Bukan One Day No Rice --- tetapi mulai Gerakan Sarapan berbahan Jagung, Sagu, dan Umbi-umbian setiap hari (Kementan waspadai ketersediaan hasil pertanian tersebut)

c.Gerakan Nasional Menggunakan Bahan Sagu --- roti, kue, empek-empek, baso, cireng dan segala panganan/snack untuk rapat dan perhelatan

d.Tepung Roti, terigu yang harus impor bertahap dikurangi --- Gerakan Nasional Memakan jagung , dari jagung direbus instant, sampai dibuat Tortila, Nasi Jagung dan lain-lain --- yang cocok dimakan dengan sayur lodeh dan sambel.Kementerian Pertanian dan Bulog harus giat berkampanye, menjaga persediaan dan Kampanye Nasional makan hasil pertanian nasional.

e.Singkong, Boled, dan Umbi-umbian serta Gaplek dan tepung turunan semacamnya, menjadi Kebangga Nasional sebagaibahan makan pokok maupun jajanan Indonesia.

Gerakan Nasional itu bukan di-instruksikan kepada Gubernur dan Kepala Daerah oleh menteri Pertanian --- tetapi dari Presiden RI kepada seluruh RakyatNKRI, semua Birokrat bekerja untuk mensukseskan Program Nasional Merombak Prilaku Konsumsi PanganIndonesia(Pronas Melakukan Pangan Indonesia).

Pasti sukses dengan tindakan-ikutan, seperti berikut ini :

1.Keteladanan Presiden RI dan Para Menteri dan Birokrasi-nya.Gaya Hidup Sederhana --- Senasib dengan Rakyatnya.

2.Memberantas Budaya Korupsi dengan Tegas dan Keras

3.Tingkatkan Produktivitas Pertanian dan Pendapatan Petani

4.Isu Nasional hanya satu : Pro Poor, Pro Job, Pro Growth --- dan Pro Melakukan Pangan Indonesia !

Program Nasional Merombak Prilaku Konsumsi Pangan Indonesia --- Pro Melakukan Pangan Indonesia --- berarti Menyintai Petani Indonesia , meningkatkan potensi Ketahanan Pangan Indonesia, menghargai potensi Budaya Pangan Lokal Nenek Moyang Orang Indonesia--- meng-efisienkan Cadangan Devisa untuk PembangunanIndonesia (Ipoleksosbud Hankam).

Kalau Gagal --- pertanda Pemerintahan yang gagal merangkul Rakyatnya dengan pandangan Visioner.

Hebat kali Bah, Abang ini --- macam si Marjuki saja kulihat. [MWA]


Sumber: Mari sehari-hari Kita membiasakan bahan makanan selain Beras --- Okay kita sarapan Tiwul plus Cenil dan Singkong rebus dicocol pada Sambal Terasi. Ubi Cilembu plus Cireng juga Okay --- di akhir pekan kita makan Gatot dan Tortila jagung dengan Kari Ayam --- Alhamdullillah. Sahur dengan Empek-empek plus Sayur bening Bayam plus Oyong. Gaplek dengan Ikan Gabus Asin juga Okay.

Ini link satu lagi, soal Ketahanan Pangan juga :
http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2011/07/26/orang-miskin-indonesia-harus-makan-pangkin-aji-gile-tajuk-ide-%e2%80%93-44/

Sumber :http://m.kompasiana.com/post/read/384324/2/one-day-no-rice-tidak-cukup-boss-merubah-habit-nya-ekonominet-%e2%80%93-16.html

Swasembada Pangan tercapai berkat Sinerginya Petani dan Pemerintah

Petani Cerdas, Pemerintah Tanggap, Menuju Swasembada Pangan

Een Nuraeni

Potensi sumber daya dan kekayaan alam yang tersedia diwilayah Indonesia merupakan potensi yang sangat memberi harapan positif bagi kejayaan bangsa dan negara jika dikelola dengan optimal dan berdasarkan prinsip-prinsip efisiensi dengan mempertimbangkan masa depan generasi penerus. Indonesia yang terletak didaerah tropis yang mendapat sinar matahari sepanjang tahun dengan luas wilayah sekitar 5, 2 juta km2, memiliki kekayaan alam yang sangat besar dan memberi harapan bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat jika dikelola secara optimal.

Indonesia memiliki lahan yang sesuai dan tersedia untuk pertanian yaitu seluas 30,67 juta hektar; 8,28 juta hektar berpotensi untuk sawah (2,98 lahan basah rawa dan 5,30 lahan basah non-rawa) dan 7,08 juta hektar untuk lahan kering tanaman semusim.(Departemen Pertanian, 2006). Berdasarkan fakta tersebut, Indonesia sebagai negara agraris sudah seharusnya menjadikan sektor pertanian sebagai landasan dan pilar pembangunan nasional. Pertanian mempunyai arti yang strategis dalam perekonomian nasional, karena menyediakan kebutuhan paling esensial bagi kehidupan yaitu pangan, dan pada saat ini menopang lebih dari 63% masyarakat Indonesia. Pertanian juga menyediakan bahan baku industri, serta membuka kesempatan usaha dibidang industri dan jasa. Keberhasilan pembangunan pertanian akan berdampak langsung dalam ketahanan dan keamanan pangan nasional.(Roedhy dkk,2009).

Terpuruknya perekonomian nasional pada masa krisis tahun 1998 yang dampaknya masih berkepanjangan hingga saat ini, membuktikan rapuhnya Fundamental perekonomian Indonesia yang kurang bersandar pada kelimpahan sumber daya domestik. Pengalaman krisi moneter dan ekonomi tersebut memberikan bukti empiris bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling tangguh dalam menghadapi terpaan krisi global. Bahkan hanya sektor pertanianlah satu-satunya sector yang tumbuh positif 0.03 persen (1998) sementara sektor-sektor lain bertumbuh negatif sebesar -13,7 persen (1998) akibat terjadinya krisi global.

Berbagai hasil penelitian, menyimpulkan bahwa yang paling besar kontribusinya dalam penurunan jumlah penduduk miskin adalah pertumbuhan sektor pertanian. Kontribusi sektor pertanian dalam menurunkan jumlah penduduk miskin mencapai 66%, dengan rincian 74% di perdesaan dan 55% di perkotaan. Sektor industri memang memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian Indonesia . Namun, sektor industri sendiri kenyataannya sangat sensitif. Saat kondisi kondusif bagi aktifitas ekonomi, produktifitasnya akan meningkat, tenaga kerja terserap lebih banyak sehingga mampu menumbuhkan laju perekonomian dan menekan angka kemiskinan. Sebaliknya ketika kondisi tidak kondusif bagi aktifitas ekonomi, banyak tenaga kerja yang di PHK, produktifitasnya menurun, laju ekonomi pun ikut turun, akibatnya adalah peningkatan angka kemiskinan. Saat kondisi ini terjadi dimana sektor industri melemah, sektor petanian mampu menjadi penyerap tenaga kerja terbesar. Kemungkinan yang bisa terjadi jika sektor pertanian dikesampingkan adalah tingginya angka penganguran dan perekonomian negara melemah.

Sasaran utama pembangunan jangka panjang negara ini adalah pencapaian struktur ekonomi yang seimbang, yaitu terdapatnya kemampuan dan kekuatan industri yang maju yang didukung oleh kemampuan dan kekuatan pertanian yang tangguh. Kondonasis et.al. (1991) menjelaskan bahwa pembangunan pada sektor pertanian merupakan batu loncatan penuju pembangunan pada sector industry. Keberhasilan pembangunan industri negara Jepang dan Taiwan merupakan lanjutan keberhasilan pembangunan disektor pertanian. Fakta sejarah pada pembangunan mengindikasikan bahwa industrialisasi Inggris pada abad ke 18 dan ke 19 dapat terjadi setelah perbaikan secara signifikan dalam produktifitas pada sector pertanian. Pertumbuhan Amerika dipacu oleh kemampuan pertaniannya yang sangat besar ( Lynn , 2003).

Belajar dari pengalaman masa lalu dan kondisi yang akan dihadapi saat ini, sudah selayaknya sektor pertanian menjadi sektor unggulan dalam menyusun strategi pembangunan nasional. Kita sangat senang dengan pilihan pemerintah untuk memberikan perhatian pada sektor pertanian, karena memang itulah kekuatan negeri ini, tidak mungkin pertanian kita akan maju tanpa adanya keterpihakan dari pemerintah. bangsa ini akrab dan mengenal betul pertanian. Sektor pertanian haruslah diposisikan sebagai sektor andalan perekonomian nasional. Hal ini sejalan dengan prioritas pembangunan ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu, dimana salah satunya adalah Revitalisasi Pertanian dan Perdesaan.

Kita tahu bahwa Indonsia juga pernah menjadi negara yang berswasembada, hingga mendapat julukan “Macan Asia”. Selama periode 2004-2008 pertumbuhan produksi tanaman pangan secara konsisten mengalami peningkatan yang signifikan. Produksi padi meningkat rata-rata 2,78% per tahun (dari 54,09 juta ton GKG tahun 2004 menjadi 60,28 juta ton GKG tahun 2008 (ARAM III), bahkan bila dibanding produksi tahun 2007, produksi padi tahun 2008 meningkat 3,12 juta ton (5,46%).

Pencapaian angka produksi padi tersebut merupakan angka tertinggi yang pernah dicapai selama ini, sehingga tahun 2008 Indonesia kembali dapat mencapai swasembada beras, bahkan terdapat surplus padi untuk ekspor sebesar 3 juta ton. Keberhasilan tersebut telah diakui masyarakat international, sebagaimana terlihat pada Pertemuan Puncak tentang Ketahanan Pangan di Berlin bulan Januari 2009. Beberapa negara menaruh minat untuk mendalami strategi yang ditempuh Indonesia dalam mewujudkan ketahan pangan. (Abdul Munif, 2009)

Swasembada (self suffiency), bisa diartikan memenuhi seluruh kebutuhan dari produksi sendiri. Itu artinya, swasembada terkait erat dengan keseimbangan antara pasokan dan permintaan. Demi mencapai swasembada pemerintah perlu kembali mempertegas keterpihakannya kepada petani dan produk-produk pangan domestik, baik dalam kebijakan pangan nasional maupun dalam kesepakatan perdagangan bebas. Tanpa keterpihakan tersebut, sangat sulit untuk mewujudkan kembali swasembada pangan Indonesia . Produk pangan dalam negeri menjadi tidak m endapat tempat dinegeri sendiri. Posisi petani tetap sulit terangkat; sekedar tukang tanam berpenghasilan rendah, kondisi ini tentu sulit membawa kita ke level swasembada yang sesungguhnya.

Petani sebagai aktor utama peningkatan produksi pangan perlu mendapatkan perhatian kerena mereka memilki andil besar dalam keberhasilan pengelolaan tanaman. Walaupun bibit yang digunakan merupakan varientas unggul, tapi jika petani tidak mampu mengelola benih itu dengan baik, maka hasilnya pun tidak akan maksimal. Untuk menghasilkan produk yang prima, petani mesti memiliki pengetahuan mengenai tata kelola tanam. Namun pada kenyataannya, pengetahuan yang dimiliki petani kurang memadai, sehingga produksi pertanian menurun. Kurangnya pemahaman petani dalam dalam penggunaan zat kimia pada pupuk dan pestisida misalnya, menjadi salah satu kendala produktifitas lahan.penggunaan zat-zat kimia yang berlebihan akan membuat tingkat kesuburan tanah menjadi berkurang dimasa-masa selanjutnya.

Dalam cakupan yang lebih luas, masalah yang dihadapi oleh petani, bukan hanya berkisar diseputar upaya peningkatan produksi dan produktivitas. Dewasa ini, para petani dipedesaan dihadapkan pula dengan problematika pasar, distribusi, konsumsi, sarana produksi, infrastruktur, kewiraswastaan, kewirausahaan, pemodalan, asuransi, daya beli, dan lain sebagainya yang tujuannya menuju kearah kesejahteraan kehidupannya.

Membangun petani, bukan hanya tugas dan tanggung jawab pemerintah melalui Departemen Pertanian saja. Membangun petani adalah tugas semua pihak yang memiliki kaitan dan hubungan dengan nasib dan kehidupan petani. Seperti kementrian UKM dan koperasi, mendapat kewajiban untuk melakukan pencerdasan kepada petani melalui kiat-kiat dagang dan berusaha, memberikan nasehat dalam mengelola usaha tani, dan penyebaran informasi pertanian. termasuk penerapan koperasi dalam kehidupan kaum tani. Departemen Lingkungan Hidup juga berperan sangat penting terkait dengan tata cara berbudidaya yang ramah lingkungan dan menjaga kelestarian alam.

Badan Pertahanan dan Keamanan juga sangat penting peranannya, khususnya dalam mengantisipasi alih fungsi lahan yang hingga kini tampak semakin tidak terkendali. Desakan dan tekanan untuk mengalih fungsikan lahan produksi pertanian ke non-pertanian karena kebutuhan penduduk akan perumahan dan pemukiman, mau tidak mau menuntut kepada kita untuk kembali mempertimbangkannya. Sedangkan Deptan sendiri yang didalamnya ada badan ketahanan pangan , badan SDM, badan penelitian dan pengembangan, dimana badan tersebut memilki kewajiban untuk meningkatkan kemampuan dan kewenangan petani dalam kehidupannya.

Dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani, pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan produktivitas dan kesejahteraan bangsa dikarenakan petani mampu mengupayakan ketahanan, keamanan dan mutu pangan dan hasil produksinya

Pemerintah sebagai pembuat peraturan dan kebijakan memiliki peran yang sangat vital bagi pembangunan pertanian bangsa. Setiap keputusan dan kebijakan yang ditantukan berdampak langsung pada pertanian Indonseia salah satunya. Salah satu yang cukup membuat petani bahagia ialah pernyataan menteri pertanian Indonseia dipenghujung tahun 2009 lalu mengingat kekhawtiran petani terkait masalah konversi lahan yang sedang gencar terjadi hingga membuat lahan pertanian semakin sempit. Menurut Suswono, Salah satu langkah pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan adalah memperluas lahan pertanian. Pemerintah akan menjamin tambahan lahan-lahan baru untuk kepentingan pertanian, dimana pembukaan lahan baru bukan dengan cara membuka kawasan hutan, melainkan melakukan konversi lahan-lahan tidur di seluruh wilayah Indonesia menjadi lahan produktif.

Departemen Pertanian mencatat, lahan tidur di Indonesia mencapai lebih dari 7,13 juta hektar. Dari total 7, 13 juta hektar lahan tidur, Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan menyiapkan seluas dua juta hektar lahan tidur untuk kepentingan pertanian. Suswono juga meyakinkan bahwa Pemerintah akan sepenuhnya memanfaatkan tanah tersebut sebagai bagian dari program ketahanan pangan Indonesia . Kita semua berharap pemanfaatan lahan tidur bisa membuat kegiatan pertanian maupun peternakan mewujudkan swasembada pangan semakin optimal. Selain perluasan lahan, pemerintah akan merehabilitasi infrastruktur irigasi untuk kepentingan menjaga ketahanan pangan. Rencananya tahun ini, secara bertahap pemerintah merehabilitasi 1,5 juta hektar lahan irigasi di 16 provinsi penyangga pangan nasional  (kompas, 2009).

Fanatisme petani dan penggunaan pupuk juga merupakan persolan klasik. Kekurangan pasokan pupuk merupakan beberapa persoalan yang melilit petani. Setiap musim tanam kelangkaan pupuk pasti terjadi. Tata niaga dan distribusi pupuk belum memihak pada petani. Upaya menciptakan ketahanan pangan bukannya tanpa rencana. Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengingatkan pemerintah soal ancaman kelangkaan pupuk tahun depan yang dapat berimbas pada produksi pangan nasional.

Selain karena minimnya anggaran subsidi pupuk, sejumlah pabrik pupuk juga belum memperoleh kontrak perpanjangan pasokan pupuk. DPR meminta Pemerintah Daerah membantu pengadaan pupuk melalui APBD. Pemerintah Daerah diminta untuk memberikan subsidi pupuk bagi wilayahnya. Pasalnya, anggaran subsidi pupuk nasional telah dipangkas sebanyak Rp 6,3 triliun, dari anggaran semula Rp 17,5 triliun menjadi Rp 11,3 triliun. Padahal, dengan anggaran Rp 17,5 triliun pun kebutuhan pupuk murah bagi petani belum juga terpenuhi.(kompas, 2009).

Berdasarkan berbagai kendala dan permasalahan bangsa Indonesia dalam mewujudkan swasembada pangan yang berkelanjutan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui sistem pertanian industrial, maka kita harus konsisten mengacu pada visi Indonesia 2030 yaitu:
“Negara maju yang unggul dalam pengelolaan sumber daya alam.”
Dengan demikian kondisi pertanian pada tahun 2030 harus dapat menopang situasi negara maju yang berbasis kekayaan alam yaitu swasembada pangan dalam situasi petani yang sejahtera.

Dengan dua kata kunci tersebut, visi pertanian adalah: “ Pertanian tangguh dan modern berbasis pada pengelolaan sumber daya alam dan genetikc secara berkelanjutan yang menjamin ketahanan, keamanan dan mutu pangan, penyediaan bahan baku industri dan kesejahteraan petani, serta berdaya saing global.”

Daftar Pustaka:
Lynn, Stuart R. 2003. Economic Development: theory and practice for a divided world. Prentice Hall. New Jersey.
Rangkuti, Parlaungan adil. 2007. Membangun Kesadaran Bela Negara. Bogor: IPB Press.
Tim Pengajar PIP. 2006. Kumpulan Makalah Pengantar Ke Ilmu Ilmu-ilmu Pertanian. Bogor: IPB Press.

Referensi:
Handoko 2009, Keadaan Iklim Indonesia. Kumpulan Artikel Pengantar ke Ilmu-ilmu Pertanian. Bogor:IPB Press"
http://www.iasa-pusat.org/artikel/strategi-dan-pencapaian-swasembada-pangan-di-indonesia.html
http://km.itb.ac.id/web/diskusi/?p=8
http://abisyakir.wordpress.com/2009/03/09/benarkah-indonesia-sudah-swasembada-pangan/
http://lestarimandiri.org/id/beranda/arsip-berita/78-arsip-berita/311-petani-di-indonesia-belum-mengetahui-informasi-mengenai-perubahan-iklim.html
http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/13993/3/9_visi_pertanian_2030_Poerwanto_etall.pdf
http://bima.ipb.ac.id/~tpb-ipb/materi/pip/PENGANTAR%20ILMU%20PERTANIAN.pdf


Sumber : http://m.kompasiana.com/post/read/491742/3/petani-cerdas-pemerintah-tanggap-menuju-swasembada-pangan.html


One Day No Rice.... But With Thiwul...





One Day, No Rice: Memori Nasi Tiwul dan Nasi Jagung

Oleh : Heri Purnomo

Sehari tanpa nasi  ?   Wow, mana bisa. Begitu mungkin yang terbayang jika saat ini ditawarkan kepada rata-rata manusia Indonesia yang sudah terbiasa makan nasi (nasi berbahan dasar beras) dua sampai tiga kali sehari. Bahkan meskipun kita sudah makan roti , mie, atau makanan selain nasi yang mengandung karbohidrat dengan porsi yang banyak, masih saja perut ini menagih nasi. Tak terkecuali penulis..hehe.

Menyikapi Program yang dicanangkan oleh Pemda Depok, Jawa Barat dengan Program One Day No Ricenya, yaitu sehari dalam satu minggu tanpa makan nasi tentu sebagai warga Depok, perlu tahu apa maksud program ini, dan mengapa sampai program ini menjadi begitu penting untuk diterapkan. Padahal kita hampir tak pernah meninggalkan menu pokok ini untuk dikonsumsi sehari-hari, ibaratnya sudah seperti ikan dengan air. Seolah-olah tanpa nasi kita tidak bisa hidup. Tentu, sebenarnya tidak demikian.

Menurut Pemerintah Daerah Kota Depok, alasan utama yang melatarbelakangi gerakan One Day No Rice (ODNR) adalah untuk mengurangi konsumsi beras karena konsumsi beras di Indonesia sudah berlebih dari negara tetangga. Selain itu, gerakan ini juga untuk mendukung pola konsumsi pangan beragam, berimbang, bergizi karena sumber karbohidrat tidaklah didapat hanya dari beras saja. Gerakan ini juga memiliki dampak positif dibidang kesehatan dan ekonomi karena dapat menjaga kestabilan harga bahan pokok, menekan laju inflasi, dan membuat kita menjadi sehat karena tidak berlebihan dalam mengkonsumsi karbohidrat. Gerakan ini merupakan sarana untuk mengajak bangsa agar hidup secara sehat karena tingkat obesitas kita sudah cukup tinggi dan berlebih dalam mengkonsumsi karbohidrat yang mayoritas adalah beras hingga  70%. Gerakan ini juga dapat memperkuat ketahanan pangan dan mewujudkan penganekaragaman pangan yang berbasis pada potensi sumber daya lokal.

Sebuah gerakan yang patut diapresiasi, karena kian hari perkembangan kehidupan masyarakat kita ternyata semakin sulit. Terutama dalam masa pemerintahan saat ini. Maka, dikhawatirkan apabila ketergantungan kita sudah demikian tinggi terhadap beras, akan lebih memperburuk lagi keadaannya jika tak bisa membuka diri untuk mencoba alternatif lain sebagai pola makan kita sehari-hari. Mungkin pada awalnya terasa berat, apalagi jika sedari kecil kita memang tak pernah makan makanan pokok selain nasi beras. Tapi hal ini tentu bisa dilatih, sedikit demi sedikit. Makanya pemerintah saat ini hanya menerapkannya dimulai dari lingkungan PNS di kota Depok dulu dan hanya sehari dalam satu minggu yaitu hari Selasa. Baru nanti perlahan-lahan akan menyebar ke seluruh warga Depok.

Dan memang, setiap program tentu selalu ada pertentangan dan penolakan dari warga. Namun, jika memang program ini nantinya akan memberi manfaat banyak, penulis yakin pada akhirnya akan bisa diterima dengan baik, meskipun harus selalu ada perbaikan prasarana, sumber daya dan sosialisasi terus menerus kepada masyarakat.

Saya jadi teringat waktu kecil dahulu, di Wonogiri, yang dengan pantun khasnya 'Wonogiri gunung gandul, makan pokok nasi tiwul".   Sampai kelas VI SD  makanan pokok masih diselingi nasi tiwul karena beras memang mahal waktu itu. Tidak hanya itu, bahkan di awal-awal masuk SD , makanan pokok dulu ada 4 macam. Nasi tiwul, nasi jagung, nasi beras ( sangat jarang, mungkin sebulan juga belum tentu ketemu ) , nasi "Canthel" , yang terakhir ini sekarang sulit didapatkan. Saya tidak tahu namanya dalam bahasa Indonesia kini, yang pasti nasinya berbentuk bulat-bulat seperti mutiara, dan teksturnya lengket. Tapi enak juga sebagai makanan pokok, apalagi dengan parutan kelapa sangat enak.

Nah, intinya sebenarnya kita bisa beradaptasi dengan berbagai macam makanan pokok sebagai sumber karbohidrat. Hanya memang dalam kondisi sangat mudah mendapatkan nasi beras saat ini, tentu terasa berat  jika dipaksa untuk makan makanan lain. Namun, tentu jika mencoba memahami keprihatinan dan semangat pemerintah untuk mensukseskan program ini, dan juga sebagai rasa turut memikirkan kelangsungan kehidupan di masa yang akan datang dengan segala tantangan yang akan dihadapi bersama, pengorbanan  untuk mengurangi sedikit kenikmatan penulis rasa cukup wajar.

Dan sepertinya, tidaklah terlalu sengsara jika sehari saja makan nasi tiwul atau nasi jagung dalam seminggu, bahkan lebih dari itu. Terutama yang pernah mengenyam masa-masa kecil dengan makanan seperti ini.

Namun, sayangnya sampai saat ini ketersediaan alternatif pengganti nasi beras belum bisa didapat dengan mudah. Mungkin kalo ke Pasar tradisional yang besar baru ada yang menjualnya. Di samping itu, cara-cara membuat nasi non beras, seyogyanya pemerintah juga mensosialisasikannya dengan memberikan edukasi kepada masyarakat.

Rasanya, makan nasi tiwul buat sebagian orang seperti bernostalgia, namun buat sebagian orang yang masih asing mungkin sebuah penderitaan atau pengorbanan barangkali ya. Tapi, jika keadaan memaksa, manusia pada umumnya  mampu beradaptasi dengan keadaan sesulit apapun.



Selamat menikmati nasi tiwul dan nasi jagung.  Semoga masa depan tak seburuk yang dibayangkan, dan kita tak sampai kelaparan karena bersikeras harus memakan nasi dari beras.

Yuk, belajar lagi makan tiwul.

Salam Tiwul.

Sumber : http://m.kompasiana.com/post/read/446257/2/one-day-no-rice-memori-nasi-tiwul-dan-nasi-jagung.html


Menghindari Diabetes dengan Mengurangi Konsumsi Nasi Putih


Mengurangi Konsumsi Nasi Putih untuk Kesehatan

Oleh Bude Binda

Sebenarnya sudah sering dengar dan baca kalau ingin sehat dan tidak kena diabetes kurangi nasi putih. Namun saya masih sulit melakukannya, secara perut saya Indonesia banget kalau belum ketemu nasi walau sudah makan roti, mi serasa belum kenyang.

Namun tulisan di halaman IPTEK Kompas tentang hasil penelitian yang meneliti kaitan konsumsi nasi putih dengan diabetes telah membuatku tersadar. Di tulisan itu disebutkan hasil penelitian  konsumsi nasi putih yang banyak seperti orang Indonesia pada umumnya bisa mengakibatkan diabetes. Namun nasi putih yang dimakan hanya beberapa piring saja tiap minggunya seperti orang Jepang tak berakibat diabetes.

Saya pun mulai mengurangi makan nasi putih. Terus makan apa? Jika adanya nasi putih ya dikurangi porsinya, biasanya satu piring jadi hanya 3-4 sendok saja.  Kalau sempat ke pasar ya beli nasi jagung, saya sehari itu makan nasi jagung seperti lagu Iwak Peyek, makan nasi jagung dengan rempeyek ikan teri....

Sedang hari Minggu, saya sempatkan masak nasi beras merah atau leye. Leye atau thiwul itu nasi dari singkong yang telah diolah sedemikian rupa. Saya beli leye mentahnya di pasar. Tanya ke penjualnya cara masaknya. Diajari, "Leyenya dicuci bersih Bu, terus dibiarkan dulu kira-kira setengah jam, dikukus sampai matang, kalau masih kurang air ya diperciki air". Saya pun masih tanya ke tetangga cara memasak leye/thiwul ini, ternyata caranya sama, saya coba dan sukses! Leyenya saya beri garam saat mengukus, juga kelapa parut yang dibubuhi garam. Rasanya enak, apa lagi kalau disantap dengan kluban/urap.

Memasak nasi beras merah sama saja seperti masak nasi putih. Saya masaknya di atas kompor bukan pakai rice cooker atau majic jar karena tak suka. Beras dicuci, dimasak dengan air yang diukur setinggi dua ruas jari di atas beras. Berasnya terendam dan airnya setinggi dua ruas jari.....Setelah air habis, nasi setengah matang dikukus di dandang. Dimasak lagi setengah jam, matang. Siap disantap dengan lauk dan sayur seperti kalau makan nasi putih.

Nasi merah banyak mengandung serat dan indeks glikemiknya rendah sehingga  rasa kenyangnya lebih lama.

Saya mencoba hidup sehat karena riwayat keluarga, ayah, om, nenek terserang diabetes. Saya usahakan tiap pagi lari 7 menit. Saya pernah baca hasil penelitian lari 7 menit tiap hari mencegah diabetes.

Yuk, kurangi konsumsi nasi putih. Banyak kok pengganti karbohidrat selain nasi putih. Singkong, jagung, keladi, sukun, suweg. Lebih sehat dan akan mengurangi impor beras.

Anda setuju?


Sumber :http://m.kompasiana.com/post/read/465989/2/mengurangi-konsumsi-nasi-putih-untuk-kesehatan.html

Swasembada pangan dari rumah sendiri

Saya, Singkong, dan Swasembada Pangan

Bude Binda
09 Feb 2013 | 13:08
Oleh Bude Binda

Ternyata kementrian pertanian telah membuat program swasembada beras tahun 2014. Swasembada beras ini dapat sukses antara lain dengan penambahan lahan tanam, dan penganekaragaman pangan. Saya tertarik dengan program yang kedua: diserfikasi pangan atau aneka ragam makanan. Apa maksudnya?

Seperti telah kita ketahui, sumber karbohidrat tak melulu dari beras. Selain beras ada juga sumber karbohidrat lain: gandum, sorgum, jagung, ketela, umbi (uwi), suweg (iles-iles), kentang, keladi, silakan tambahkan yang lain.

Jika gandum atau terigu yang merupakan produk turunannya adalah produk impor (walau sudah ada yang menanam gandum di Indonesia namun belum banyak), maka tanaman lain yang dapat kita hasilkan sendiri dan relatif mudah membudidayakan: ubi/ketela pohon, ubi jalar, ubi/uwi, suweg/iles-iles, keladi. Tanaman ini dapat hidup di pekarangan, tidak harus di sawah atau tegalan.

Jika kentang dan jagung memerlukan lahan yang berupa sawah atau tegalan/ladang yang banyak mendapat sinar matahari dan perlu perawatan khusus, maka tanaman yang disebut di atas ketela dan teman-temannya tak memerlukan perlakuan khusus. Pekarangan atau halaman rumah pun dapat ditanami, bahkan di sela-sela tanaman lain.

Swasembada beras akan berhasil pada tahun 2014. Syaratnya, selain memperluas lahan untuk menanam beras, juga dan justru yang penting masyarakat mau mengurangi konsumsi berasnya dengan mengganti dengan bahan pangan non beras. Toh nilai gizinya tak jauh berbeda. Bahkan kandungan indeks glikemiknya relatif lebih baik untuk penyandang diabetes.

Penganekaragaman pangan ini selain untuk mencapai swasembada beras juga demi kesehatan. Dengan berganti-ganti sumber karbohidrat tentu zat gizi yang masuk ke tubuh juga lebih beragam.

Bagi penyandang obesitas bahkan kabar baiknya berat badan dapat turun dengan mengurangi konsumsi nasi dan menggantinya dengan jagung, kentang, ketela, ubi jalar atau umbi yang lain. Tentu diimbangi pengaturan makan yang zat gizinya seimbang.

Tak usah takut tidak enak, nasi jagung jika dikombinasikan dengan urap dan lauk ikan asin, serta sambal terasi juga tak kalah mak nyus dengan nasi beras. Demikian juga thiwul atau nasi leye yang terbuat dari ketela pohon/singkong. Makan saja dengan thiwul sebagai pengganti nasi, dipadukan dengan sayur dan lauk apa pun enak.

Alangkah baik dan bijaknya jika pemerintah dalam hal ini kementrian terkait terus menerus mengkampanyekan makanan bervariasi tak melulu beras. Bisa jadi masyarakat tetap mengkonsumsi beras bukan karena tak mau mengganti sumber karbohidratnya melainkan karena ketidaktahuan tentang makanan non beras.

Jika masyarakat telah terdidik dengan baik, maka langkah selanjutnya masyarakat mudah menemukan bahan pangan non beras di pasar. Nasi jagung, thiwul instan, tepung mocaf misalnya mudah didapat di pasar tradisional, modern, atau pun di toko-toko roti/kue.

Saya telah mencoba mengurangi konsumsi nasi putih/beras dengan memvariasikan dengan nasi jagung, thiwul, singkong rebus, ubi jalar rebus, sukun rebus. Ternyata makanan pengganti nasi ini enak tak kalah dengan nasi yang terbuat dari beras. Alhamdulillah saya kian sehat dengan mengkonsumsi karbohirat yang beraneka ragam.

Di pekarangan  samping rumah saya menanam singkong, ubi jalar, dan ganyong. Sebagai persediaan. Toh mudah cara menanam maupun perawatannya.

Ternyata swasembada pangan itu sederhana dan siapa pun dapat ikut andil. Mau berpartisipasi? Ayo tanam tanaman pangan lokal yang mudah dan murah. Variasikan nasi berasnya dengan bahan pangan lain. Dapat diselang-seling kok, misal pagi sarapan nasi jagung, siang beras, malam ubi rebus. Anda sepakat?

Kalau kita semua rakyat Indonesia mau ikut ambil bagian, maka swasembada pangan di tahun 2014 bukan hal yang mustahil! Salam kemandirian......

BUDE BINDA

Banjarnegara, Sabtu 9 Februari 2013

Sumber : http://m.kompasiana.com/post/read/532230/2/saya-singkong-dan-swasembada-pangan-.html

Kamis, 01 Januari 2015

Swasembada pangan dalam tiga tahun mendatang tergapai ? Hebat !!

Swasembada Pangan Masih Sebatas Impian?

Jakarta, (Antarariau.com)

Di awal masa pemerintahannya, Presiden RI Joko Widodo memprogramkan untuk meraih kembali swasembada pangan, yang dulu pernah dicapai pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto.
Bahkan, pemerintahan Jokowi-JK menargetkan akan mencapai swasembada pangan dalam waktu tiga tahun.

Sepertinya Presiden tidak ingin main-main dengan target swasembada pangan tersebut, terlebih lagi swasembada pangan merupakan manivestasi dari visi ketujuh pemerintah Jokowi-JK yang tertuang dalam Program Nawacita.

Salah satu yang tertuang dalam Nawacita tersebut, yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi nasional dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, salah satunya sektor pertanian melalui upaya membangun dan mewujudkan kedaulatan pangan.

Menurut Jokowi, Indonesia harus sudah bisa mandiri atau swasembada pangan dalam tiga tahun. "Tidak boleh ditawar," ujarnya.

Sejumlah komoditas pangan utama yang menjadi target swasembada, yakni padi, jagung, dan kedelai terjadi 1--3 tahun ke depan. Menteri Pertanian Amran Sulaiman menuturkan bahwa pemerintah telah membuat target untuk masing-masing komoditas tersebut.

Untuk padi agar bisa mencapai swasembada, menurut dia, produksi harus mencapai 73 juta ton. "Insya Allah, pada tahun 2015, Departemen Pertanian menargetkan 73 juta ton dan jagung rencananya ditargetkan 20 juta ton pada tahun 2016," katanya.

Kendati demikian, untuk mencapai swasembada kedelai, Mentan mengakui hal itu agak berat. "Insya Allah tiga tahun baru kita mencapai swasembada (kedelai)," kata Amran di Kantor Wapres, Jakarta, Senin (15/12).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2013, disebutkan bahwa produksi padi sebesar 71,28 juta ton gabah kering giling (GKG) atau mengalami kenaikan sebesar 2,22 juta ton, atau sebesar 3,22 persen jika dibandingkan pada tahun 2012.

Sementara itu, untuk produksi padi pada tahun 2014 (ARAM I) diperkirakan sebesar 69,87 juta ton GKG atau mengalami penurunan sebesar 1,41 juta ton atau 1,98 persen dibandingkan pada tahun 2013.

Penurunan produksi diperkirakan terjadi karena penurunan luas panen seluas 265.310 hektare atau sekitar 1,92 persen dan produktivitas sebesar 0,03 kuintal per hektare atau sebesar 0,06 persen.

Melihat target yang tidak ringan tersebut, pemerintah pun segera melakukan berbagai langkah, antara lain menyelesaikan berbagai kendala yang dinilai akan menghambat pencapaian swasembada pangan dalam tiga tahun mendatang.

Berbagai persoalan mendasar tersebut, menurut Mentan Amran Sulaiman, yakni rusaknya saluran irigasi hampir di seluruh wilayah Indonesia, penyaluran pupuk dan benih, ketersediaan alat dan mesin pertanian (alsintan), serta keberadaan penyuluh pertanian yang dinilai masih sangat minim.

Terkait dengan rusaknya saluran irigasi, Amran mengatakan bahwa kerusakan pada saluran irigasi, baik primer, sekunder, maupun tersier tersebut, kurang lebih 52 persen saluran irigasi yang ada di Indonesia. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini, belum pernah ada perbaikan.

"Presiden telah mengeluarkan Perpres Nomor 172 Tahun 2014, dan saluran irigasi pada tahun 2015 akan kami perbaiki, kurang lebih untuk satu juta hektare di seluruh Indonesia. Kami akan perbaiki secara bertahap," ujarnya.

Mengenai persoalan pupuk, Mentan mengatakan bahwa hal itu terkait dengan distribusi di lapangan dan terkadang tidak cukup. Sementara itu, serapan benih pada tahun 2014 hanya 20 persen sehingga membuat produksi petani mengalami penurunan.

Terkait dengan permasalahan tersebut, Kementerian Pertanian akan memberikan pupuk gratis sebanyak 57.000 ton, dan bantuan benih gratis untuk lima juta hektare sawah di seluruh Indonesia.

Saat ini, pemerintah telah menyiapkan dana sebesar Rp28 triliun untuk subsidi pupuk senilai dengan 9,5 juta ton pupuk dan Rp2 triliun pada benih. Bantuan dana subsidi ini dimaksudkan untuk menggenjot terwujudnya swasembada pangan di Indonesia.

Arman mengatakan bahwa alokasi anggaran tersebut sudah masuk dalam APBN Perubahan 2015 yang akan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Untuk alat pertanian, Kementerian Pertanian berencana memberikan sebanyak 61.000 unit.

Terkait dengan kekurangan penyuluh sebanyak 21.000 orang, Mentan telah melakukan MoU dengan TNI. Dalam hal ini akan ada kerja sama dengan Babinsa seluruh Indonesia yang saat ini jumlahnya sekitar 52.000 orang dan juga dengan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL).

Langkah lain yang telah diambil Kementerian Pertanian adalah dengan direalisasikannya dana kontingensi kurang lebih Rp600 miliar. Dana tersebut disalurkan menjadi traktor untuk para petani di Indonesia.

"Traktornya telah diterima 100 persen di 14 provinsi. Selain itu, kami melakukan refocusing anggaran yang rencananya diperuntukkan bagi bangunan pada tahun 2015. Akan tetapi, kami alihkan untuk pertanian sebesar Rp4,1 triliun, sementara pada RAPBN-P 2015 kami usulkan Rp20 triliun," ujar Amran.

Sementara itu, khusus padi, Mentan menyatakan untuk mencapai swasembada pangan dalam waktu tiga tahun mendatang, pihaknya mendorong peningkatan produksi sebesar 11 juta ton pada tahun 2015 dari wilayah-wilayah penghasil padi di Indonesia.

Ia menyatakan para gubernur telah mendukung rencana swasembada. Mereka berjanji akan meningkatkan produksi dengan total keseluruhan 11 juta ton. Beberapa wilayah yang akan meningkatkan produksi padi, antara lain Jawa barat dan Jawa Timur yang menyanggupi kenaikan sebesar dua juta ton, sementara untuk Jawa Tengah sebanyak 1,5 juta ton, serta Sumatera Barat dan Sumatera Utara masing-masing satu juta ton.

"Seluruhnya 11 juta ton. Jika separuhnya terpenuhi, swasembada bisa tercapai," ujar Amran.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan para insinyur Indonesia turun ke lapangan untuk memberikan bimbingan kepada petani. Menurut dia, untuk mencapai target swasembada pangan dalam tiga tahun, para insinyur harus proaktif memberikan penyuluhan kepada petani.

"Insinyur-insinyur pertanian kita jangan di belakang meja, harus kembali ke lapangan, berikan bimbingan kepada petani-petani kita," ujarnya saat acara "Penghargaan Adikarya Pangan Nusantara 2014" di Kecamatan Sukamandi, Subang, Jawa Barat, Jumat (26/12).

Selain itu, Jokowi meminta para kepala daerah dan menteri pembantunya untuk bekerja keras mewujudkan swasembada pangan ini. Jika tidak, dia mengancam untuk tidak segan-segan memecatnya.


Penunjukan Langsung

Sementara itu, pemerintah mengeluarkan surat edaran agar penunjukan pengadaan bibit dan perbaikan tersier atau perbaikan saluran irigasi takperlu lagi melalui sistem tender. Surat edaran itu untuk menunjang swasembada pangan yang direncanakan pemerintah terwujud satu atau dua tahun ke depan.

Surat edaran itu ditandatangani oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljo, Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Mardiasmo, Wakapolri Komjen Pol. Badrodin Haiti, dan Jaksa Agung H.M. Prasetyo.

Bila dilakukan tender, menurut Jusuf Kalla, memakan waktu 45 hari. Selain itu, dari pengalaman dua tahun lalu, proses tender melahirkan mafia pangan dan menghambat swasembada pangan.

Wapres juga menuturkan bahwa keterlibatan Polri dan Kejaksaan Agung guna memberi kepastian payung hukum bahwa penunjukan langsung tak menyalahi aturan.

Untuk penyaluran pupuk bersubsidi ada tiga BUMN yang sudah ditunjuk pemerintah, yaitu PT Sang Hyang Seri, PT Pupuk, dan PT Pertani.

Terkait dengan harga bibit, karena penunjukan langsung, pemerintah yang menentukan harga tersebut. Pihak yang berwenang menentukan adalah Kementerian Pertanian bersama Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. Mereka mengaku telah terjun ke 13 provinsi.

"Harga disesuaikan di wilayah masing-masing," kata Mentan.


Keterbatasan Lahan

Pengamat pertanian Khudori menilai Indonesia sampai saat ini masih sulit untuk mencapai swasembada pangan. Hal itu disebabkan relatif banyaknya perang komoditas di lahan yang terbatas. Saat ini terdapat 18 komoditas nasional yang terus digenjot produktivitasnya oleh pemerintah, sedangkan lahan pertanian tidak mengalami penambahan.

Menurut dia, pemerintah harus lebih peka lagi terhadap upaya-upaya pencapaian swasembada pangan itu sendiri. Pasalnya, kemampuan pemerintah dalam membuka lahan baru di Indonesia untuk saat ini sangat terbatas.

Selain itu, mengenai infrastruktur seperti irigasi juga menyebabkan Indonesia sulit capai swasembada pangan.

"Irigasi yang menjamin ketersediaan air apakah pada saat kemarau maupun hujan. Kalau hujan, petani tetap bisa tanam. Akan tetapi, kan yang terjadi kan dua-duanya menjadi masalah," katanya.

Ketua Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir memandang perlu peraturan untuk meredam alih fungsi lahan pertanian. Ia menceritakan lahan produktif di Jawa yang kian menyusut. Sekarang ini luasnya sekitar 3,5 juta hektare karena berkurang 600.000 hektare dibandingkan tahun lalu.

"Di Jawa, alih fungsi lahan paling banyak terjadi di Jawa Barat. Kebanyakan alih fungsi lahan pertanian ini digunakan untuk perumahan," katanya.

Menteri Pertanian Kabinet Indonesia Bersatu II Suswono menyebutkan ada beberapa prasyarat yang memang harus dipenuhi untuk bisa mencapai swasembada. Pertama, ketersediaan lahan, bahwa untuk menambah produksi untuk tebu saja misalnya untuk swasembada gula paling tidak minimal 350.000 hektare, untuk kedelai paling tidak minimal 500.000 hektare.

Direktur lembaga kajian ekonomi, INDEF, Enny Sri Hartati berpendapat bahwa lemahnya koordinasi antarkementerian dan lembaga dalam pemerintahan saat ini mengakibatkan tidak tercapainya swasembada selama ini.

Kementerian Pertanian, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan lembaga terkait lainnya, kata dia, harus punya kemauan politik meningkatkan pertanian di dalam negeri. Ia mengingatkan, selain mampu menjaga ketahanan pangan, sektor pertanian yang dikelola dengan baik akan menciptakan lapangan kerja, menekan angka kemiskinan hingga pada akhirnya mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

"Memang betapa mahalnya koordiansi yang ada di negara yang namanya NKRI walaupun di sana ada kebijakan otonomi daerah, bahkan antarsektor mestinya enggak ada egosektoral dan egoregional. Nah, ini yang harus didesain menyelesaikan persoalan itu," ujar Enny.

Sementara itu, Sekjen Petani Nasdem Syaiful Bahri menyatakan minimnya akses ini adalah problem serius di dalam isu pertanian. Kepemilikan lahan yang hanya 0,25 hektare/KK Petani dari 45 juta KK petani, dari total 6.000.000 hektare lahan pertanian.

Menurut dia, pertanian modern bukan berarti menggantikan pertanian rakyat dengan "rice estate" atau pembukaan lahan secara besar-besaran untuk ditanam satu macam komoditas, dalam hal ini padi.

"Lebih baik akses tanah-tanah telantar yang dimiliki oleh negara diberikan kepada petani untuk menggarap," tuturnya.

Target pemerintahan presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono untuk mencapai swasembada pangan pada tahun 2014, ternyata tidak terwujud. Kini, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mencanangkan kembali program tersebut sebagai agenda besar.

Akankah pemerintahan kali ini mampu mewujudkannya dalam tiga tahun ke depan sesuai dengan targetnya, atau untuk kesekian kalinya swasembada pangan tetap sebatas mimpi bangsa Indonesia.

Sumber berita: www.antarariau.com

Sumber :   http://www.tepungmocaf.com/2014/12/swasembada-pangan-masih-sebatas-impian.html?m=1