Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto
Penghasilan masyarakat dari Kebun Plasma Kelapa Sawit di Kecamatan Sebuku baru mencapai Rp 450.000 per bulan untuk kebun plasma seluas 2 (dua) hektar. Artinya jika dihitung per hektar penghasilan petani plasma hanya sebesar Rp 225.000 per bulan. Sungguh angka yang sangat kecil bagi penduduk yang dulunya biasa menerima uang besar dari bisnis ilegal logging.
Apakah itu sudah adil ? Rasanya itu sangat tidak adil. Idealnya rata-rata produksi Tandan Buah Sawit (TBS) itu mencapai 24 ton per tahun dari setiap hektar kebun yang sudah menghasilkan, berarti rata-rata panen sebesar 2 ton TBS per bulan. Jika harga TBS Rp 1.200 per kg, maka akan diperoleh hasil pembayaran dari pabrik sebesar Rp 2.400.000 per bulan dari setiap hektar lahan. Atau Rp 4.800.000 per bulan untuk 2 hektar kebun Kelapa Sawit. Kenyataannya perolehan petani plasma kita baru kurang dari 10 % dari kondisi ideal tersebut.
Namun angka tersebut masih jauh dari kenyataan, karena ternyata produktifitas kebun Kelapa Sawit di Nunukan ini baru mencapai sekitar 50% target produktifitas ideal yaitu baru mencapai sekitar 12 ton TBS per hektar per tahun. Angka tersebut pun penulis peroleh dari angka produktifitas laporan dari salah satu perusahaan inti yang ada di Kabupaten Nunukan. Maka bisa jadi produktifitas kebun plasma masyarakat bisa kurang dari 12 ton TBS per tahun per hektar.
Dari sisi harga TBS pembelian Pabrik Kelapa Sawit juga masih rendah. Rata-rata harga pembelian di tingkat pabrik baru sekitar Rp 900 per kg TBS, sedangkan harga di tingkat kebun setelah dipanen berkisar antara Rp 400 – 600 per kg TBS tergantung jaraknya kebun dari pabrik. Hal tersebut masih belum terhitung ongkos buruh untuk panen dan pengumpulan TBS ke pinggir jalan. Maka bisa jadi yang diperoleh petani hanya sekitar Rp 300 – 500 per kg TBS.
Ini adalah kenyataan yang sungguh pahit di tengah gencarnya semangat menanam kebun dengan komoditi Kelapa Sawit. Sebab dengan penerimaan yang sangat minim tersebut, petani tentu tidak sanggup untuk melakukan pemeliharaan yang baik dan standar. Apalagi harga pupuk juga masih sangat mahal dan ketersediaannya juga belum terjamin. Sarana dan prasarana transportasi juga masih sangat minim, sehingga ongkos angkut pupuk dan barang dirasa masih sangat mahal. Kondisi seperti ini dialami hampir semua petani Kelapa Sawit di Kabupaten Nunukan.
Petani seolah-olah tidak berdaya menghadapi kenyataan ini, mereka hanya pasrah menerima keadaan yang tidak adil ini. Selama ini Pemerintah Kabupaten Nunukan juga sangat tidak peka dan seolah tidak paham dengan kenyataan yang sangat pahit tersebut. Oleh karena itu harusnya Pemerintah jangan berbangga dulu dengan banyaknya lahan yang dibuka untuk kebun Kelapa Sawit. Jangan juga berbangga kalau di daerahnya banyak Pabrik pengolah CPO, sehingga bisa meningkatkan PAD setiap tahunnya. Janganlah bangga dulu sebelum masalah-masalah petani bisa diatasi dan pendapatan dari Kelapa Sawit cukup mensejahterakan.
Padahal para petani kita ini sudah cukup bersabar menunggu selama sekitar 5 (lima) tahun untuk memperoleh hasil yang ternyata tidak sepantasnya tersebut. Namun cukuplah untuk juga disyukuri sebab bisa membantu untuk biaya anak-anak sekolah di kampung atau tambahan beli beras dan keperluan harian lainnya. Masyarakat plasma Kelapa Sawit termasuk sangat sabar, karena selama ini mereka merasa tidak mengeluarkan biaya-biaya untuk pembangunan kebun sawitnya, itu saja.
Kalau tahu hanya seperti itu, kenapa kita tidak memilih komoditi lain seperti Singkong. Benarkah Singkong bisa lebih menguntungkan bagi masyarakat dari pada Kelapa Sawit? Atau adakah komoditi lainnya yang bisa lebih mensejahterakan dari pada Kelapa Sawit? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sungguh sangat langka kita dengarkan dari para petani plasma Kelapa Sawit ini. Kenapa? Ya, karena selama ini gembar-gembor dari para Pemimpinnya sangat meyakinkan.
Lalu apakah betul Singkong bisa lebih hebat dari Kelapa Sawit? Bagaimana perhitungannya sehingga bisa dikatakan seperti itu?
Singkong itu tanaman semusim yang umur panennya berkisar antara 6 bulan sampai dengan 10 bulan, artinya tidak perlu terlalu lama untuk menunggu hasilnya. Selain itu Singkong sudah sangat familier atau tidak asing bagi semua petani di Kabupaten Nunukan, baik dalam hal cara budidayanya maupun cara mengelola paska panennya. Bahkan sebagian besar masyarakat di daerah pedalaman mengkonsumsi Singkong sebagai makanan pokoknya. Jadi secara budaya dan adat istiadat sungguh tidak asing lagi bagi mereka.
Jika Pemerintah bisa menarik pihak Swasta untuk berinvestasi mendirikan pabrik pengolahan Singkong menjadi produk-produk hilir yang lebih bernilai, sama seperti adanya Investor Pabrik Kelapa Sawit (PKS), maka saya yakin masyarakat akan jauh lebih antusias. Sebab inilah prasyarat pertama dan utama jika kita ingin mengembangkan Singkong, yaitu adanya pabrik yang akan membeli seluruh hasil produksi dari para petani. Sebenarnya seperti itu juga yang dilakukan Pemerintah untuk mengembangkan Kelapa Sawit, maka untuk mengembangkan Singkong pun prasyarat utama juga harus dilakukan.
Oke lah, kalau misalnya prasyarat itu sudah ada, artinya Pemerintah atau siapa saja bisa menarik investor untuk mendirikan Pabrik yang menampung dan mengolah Singkong, sehingga seluruh hasil produksi Singkong para petani bisa dibeli dengan harga yang wajar. Lalu bagaimana bisa dikatakan hasil pendapatan petani bisa lebih hebat? Terus, betulkah Singkong bisa membuat masyarakat lebih sejahtera?
Petani selama ini menganggap bahwa Singkong bukan sebagai komoditi ekonomi, karena Singkong belum punya pasar yang besar. Petani hanya menanamnya dalam skala lahan yang sempit dan sekedar bisa mencukupi kebutuhan untuk keluarganya saja. Belum ada yang bisa membeli dalam jumlah yang banyak dan kontinyu. Keadaan inilah yang akan berubah jika nanti ada Pabrik yang bisa membeli dalam jumlah besar dan secara kontinyu, sama seperti PKS untuk hasil panen Kelapa Sawit petani.
Mari, sekarang kita menghitung proyeksi pendapatan petani singkong dengan skala usaha Singkong untuk luas lahan 1 (satu) hektar. Petani biasa menanam Singkong dengan jarak tanam yang sangat rapat, yaitu dengan jarak 50 cm x 50 cm, ada juga yang sekitar 60 cm x 60 cm, 80 cm x 80 cm, atau sampai jarak tanam sekitar 1 meter x 1 meter. Kalau dihitung populasi pohon per hektar bisa mencapai antara 10.000 pohon, 15.000 pohon, 30.000 pohon atau sampai 40,000 pohon. Atau anggaplah rata-rata yang ditanam petani itu 20,000 pohon dalam setiap hektar.
Jika rata-rata hasil produksi setiap pohon rata-rata mencapai 3 kg saja maka hasil panen per hektar lahan akan mencapai 60 ton ubi. Padahal para petani kita tidak terlalu sulit untuk bisa mencapai produksi per pohonnya rata-rata seberat 5 kg. Hanya dengan sedikit pemeliharaan dan pupuk yang cukup angka 5 kg itu bisa diperoleh. Artinya dalam se hektar petani akan memperoleh hasil sekitar 100 ton dalam setiap musimnya yang selama antara 6 bulan sampai 10 bulan. Atau bisa dikatakan bahwa para petani tidak terlalu sulit untuk bisa memanen Singkong sebanyak 10 ton per bulannya dari setiap hektar lahan.
Seandainya pihak Pabrik yang ada nanti bisa menerima dengan harga di tingkat kebun hanya seharga Rp 300 per kg saja, maka petani yang menanam 1 hektar Singkong tadi akan menerima hasil kebun Rp 3 juta per bulan. Kalau punya kebun 2 hektar makan akan menerima hasil Rp 6 juta per bulan. Apa lagi kalau harga seperti di Jawa atau Sumatera yang bisa mencapai Rp 600 di tingkat Pabrik, maka petani bisa memperoleh Rp 6 juta per bulan per hektar. Nah, kalau mereka rata-rata punya 2 hektar lahan Singkong, maka mereka bisa memperoleh hasil pendapatan sampai Rp 12 juta per bulan. Ini sungguh hasil yang sangat besar jika dibandingkan hasil dari Kelapa Sawit.
Apakah hal ini sulit dilakukan? Saya rasa, kalau membangun Pabrik Kelapa Sawit saja kita bisa, tentu juga demikianlah kita pasti bisa membangun Pabrik Pengolahan Singkong di Kabupaten Nunukan ini.
Kira-kira apa lagi yang kita ragukan dengan hitungan di atas? Bagaimana menurut Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar